Oleh: Hamid Nabhan
Melalui proses pendidikan yang dijalani oleh setiap manusia untuk belajar tentang hal-hal baru yang belum pernah ia ketahui sebelumnya, maka pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap manusia agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik untuk meraih tiket ke masa depan. Nelson Mandela (1918-2013) seorang tokoh Apartheid dan politisi Afrika Selatan pernah mengatakan, "Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, kamu dapat mengubah dunia. "
Di tanah air waktu zaman penjajahan tidak begitu banyak sekolah dan pengajar seperti di zaman sekarang. Di zaman kolonial khususnya di kota Surabaya kita mengenal beberapa sekolah diantaranya adalah 'MULO' yaitu sekolah umum di zaman Hindia-Belanda, juga kita mengenal 'HIS' (Hollandsch Inlansche School) yaitu sekolah bumiputra untuk bangsawan, juga 'HBS' (Hoogere Burgen School) yaitu sekolah menengah umum Hindia-Belanda yang setaraf dengan SMP dan SMA di zaman sekarang, Bung Karno pernah sekolah disini. Ada juga sekolah yang bernama Ongko Loro (de Scholen der Tweede) yang ditempuh selama tiga tahun dengan kurikulum yang sederhana yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah lainnya yang pernah tercatat adalah H.C.S (Hollandsch Chineesche School) yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Tiong Hoa. Ada juga sekolah Lanjutan yang sekarang setara dengan SMA bernama AMS (Algemeene Middelbare School).
Di samping sekolah-sekolah tersebut ada juga sekolah yang berbasis agama (Islam) seperti sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan NU. Bahkan sebelum adanya organisasi-organisasi itu justru pendidikan melalui pesantren-pesantrenlah yang tercatat sebagai lembaga pendidikan tertua di tanah air, seperti pondok Pesantren Al-Kahfi Somolangu Kebumen Jawa Tengah yang berdiri tahun 1447 dan pondok Pesantren Lonceret di Mojosari Jawa Timur berdiri tahun 1710 serta Pondok Pesantren Sidogiri yang didirikan oleh seorang Sayyid dari Tarim Hadramaut yang bernama Sayyid Sulaiman Basyaiban pada tahun 1718 serta banyak lagi pondok pesantren tua yang lain.
Di kota Surabaya pernah berdiri sebuah sekolah yang bernama 'H.A.S (Hollandsch Arabische School) sekolah ini tidak hanya terdiri dari pribumi keturunan Arab saja tapi juga ada murid-murid yang berasal dari suku Jawa dan suku yang lain. Sekolah ini tidak berafiliasi dengan politik, hanya murni sebagai tempat sekolah yang menggunakan pengantar dalam Bahasa Belanda dan Bahasa Arab.
Ide pendirian sekolah ini menurut Madjalah Aliran Baroe tahun 1939 bermula pada suatu malam dirumah saudara Koesoema di Kampoeng Tjoliek (sekarang Kalimas Madya gg II) saat itu hadir tiga sahabat yaitu saudara Aboebakar Syahab, saudara Said Bahrisj serta saudara Koesoema. Ketiganya membicarakan tentang rencana pendirian Scholl-Vereeniging H.A.S di kota Surabaya, dasar dari sekolah ini untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan tujuan bagaimana para murid bisa berbicara Bahasa Belanda dengan baik agar kelak bisa mengantarkan murid-murid untuk mengenyam pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, karena saat itu sekolah-sekolah yang lebih tinggi menggunakan pengantar Bahasa Belanda dalam sistem belajar mengajarnya. Ini sesuai dengan apa yang diucapkan saudara Said Bahrisj ketika membuka sekolah tersebut dengan mengatakan "ini adalah kesadaran kita tentang pendidikan.. "
H.A.S pertama kali dibuka di dalam kampung dengan murid yang hanya terdiri dari beberapa orang dan tak begitu lama murid-murid baru bertambah maka rumah tempat belajar penuh sesak dan sekolah ini mengalami beberapa kali pindah sampai akhirnya H.A.S mempunyai sebuah gedung baru di jalan Kampemen Staat no. 202 (sekarang jalan KHM Mansyur) gedung ini milik keluarga Ba'agil yang kaya.
Pada hari Rabo tanggal 3 Mei 1939 sekolah tersebut diresmikan oleh saudara Aboebakar Syahab selaku ketua dan pemuka dari pendirian sekolah. Sekolah H.A.S memakai kurikulum yang ditetapkan secara resmi pada saat itu, sehingga murid-murid dari H.A.S bisa melanjutkan pendidikan di sekolah menengah seperti MULO dan H.B.S.
Tapi sekolah yang bertempat di gedung ini tidak berlangsung lama seiring kedatangan penjajah Jepang, dan menurut catatan banyak alumni dari H.A.S yang turut berjuang ketika terjadi agresi militer yang pertama di tahun 1945. Para pemuda itu berkumpul di rumah milik seorang kaya yang bernama Ibrahim Baswedan terletak di jalan Kampemen no 110-114 (sekarang rumah sakit Al-Irsyad) yang rumahnya direlakan untuk di buat tempat perjuangan pemuda-pemuda peranakan Arab dalam menentang agresi militer yang pertama.
(Red)
Social Header