Oleh: Hamid Nabhan
Sang proklamator Muhammad Hatta pernah berkata _"Pahlawan yang setia itu berkorban bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita"_ Kata-kata ini sangatlah cocok untuk Salim Ali Maskati tokoh pejuang dan perintis kemerdekaan RI yang terlupakan.
Salim Ali Maskati lahir di Surabaya pada tahun 1907, dalam usia 18 tahun salim sudah aktif dalam pergerakan politik. Ia bergabung bersama PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) saat itu Salim diserahi oleh Wondoamiseno seorang tokoh PSII dan mantan menteri pada kabinet Amir Syarifudin I, untuk menerbitkan sebuah surat kabar 'Perdamaian' sebua media yang membawakan suara PSII.
Pada tahun 1927 dari uang hasil penjualan rumah warisan orang tuanya Salim membeli sebuah percetakan yang kemudian digunakan untuk menerbitkan sebuah surat kabar "Lembaga Baroe" hal tersebut merupakan sebuah langkah idealis yang berani dan progreeif, hal ini dinilai sangat berani pada saat itu, dan Salim Maskati memilih terjun dalam dunia jurnalisme 'pergerakan'. Salim Ali Maskati disebut sebagai mentor awal bagi A.R Baswedan di bidang jurnalisme, ini diceritakan oleh tokoh pergerakan keturunan Arab yaitu Husain Bafaqieh dalam majalah Aliran Baroe. Dan pada tahun 1920 Salim Maskati dan Husein Bafaqieh mendirikan majalah 'Zaman Baroe' sebuah majalah yang mempersatukan golongan Indonesia keturunan Arab untuk berjuang bersama dalam meraih kemerdekaan, dan pada saat itu seorang tokoh perintis kemerdekaan A.R Baswedan sangat antusias untuk ikut menulis dalam penerbitan tersebut. Zaman Baroe tersebut di teruskan sendiri oleh Salim Maskati, setelah penerbitan tersebut mati maka dilanjutkan dengan nama "Lembaga Baroe" dalam majalah ini A.R Baswedan mulai aktif membantu Salim Maskati dan ikut serta mengisi untuk menulis dengan nama samaran Bin Auff Al Asrie.
Setelah PAI (Partai Arab Indonesia) di bubarkan, para anggotanya meleburkan diri dalam partai-partai nasional yang ada, Salim Maskati memilih untuk masuk dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Malang. Kemudian Salim Maskati menjadi ketua II Dewan Daerah Jamiatul Muslimin Jawa Tengah.
Pada tahun 1981 Salim Maskati memperoleh penghargaan sebagai salah seorang perintis kemerdekaan, awalnya Salim Maskati tidak berniat meminta pengakuan sebagai perintis kemerdekaan, namun melalui dorongan dan bantuan rekan-rekan seperjuangan seperti H. Doel Arnowo dan A.R Baswedan, Salim mencoba menulis surat ke Departemen Sosial RI dan baru setelah 3 tahun ia dinyatakan berhak menyandang predikat perintis kemerdekaan.
Sebuah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah RI bagi mereka yang telah berjuang mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, yang diakui serta di sahkan dengan surat keputusan menteri sosial RI, salah satu kriterianya adalah mereka yang telah menjadi pemimpin pergerakan yang membangkitkan kesadaran kebangsaan dan kemerdekaan RI, dan Salim Maskati adalah salah satu orang yang memiliki kriteria ini.
Dalam acara tasyakuran atas penghargaan tersebut yang diadakan di jalan Ketapang Besar no 28 Surabaya Salim Maskati menyatakan _"Sesungguhnya tidak terlintas dalam hati saya bahwa saya telah menerima suatu hadiah yang begitu tinggi nilainya. Padahal saya hanyalah seorang petugas lapangan ditengah gemuruh perjuangan menuju kemerdekaan. Apa yang saya lakukan adalah tugas yang wajar sebagai seorang warga Negara yang bertanggung jawab"_ sebuah ucapan yang mulia dari seorang nasionalis, pejuang sejati.
Di akhir hidupnya Salim Maskati hidup dengan sangat sederhana, ia hidup dari pensiunan sebagai perintis kemerdekaan dengan uang sebesar 62 ribu rupiah perbulannya dengan dibantu penghasilan sang istri sebagai seorang penjahit.
Salim Maskati seorang jurnalis dan penulis yang pruduktif, diantara buku-buku yang ditulisnya antara lain adalah Indonesia Tumpah Darahku 1982 dan AR Baswedan Bosan Pikikiran dan Andjoerannja 1939.
Salim Ali Maskati meninggal pada tahun 1983 dalam usia 76 tahun dan di makamkan di pemakaman umum Pegirian Surabaya. (Red)
Social Header