Breaking News

Kisah Di Balik Telinga Van Gogh Oleh: Hamid Nabhan


   Ada yang hilang dari diri Vincent Van Gogh, jauh sebelum ia memotong telinganya, ia kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri, akibat penyakit mental yang dideritanya.  Di Arles ia mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu, tetapi yang ia temukan hanyalah kekecewaan.  Rasa sakitnya kembali datang, kejiwaannya sering bergejolak yang kadang tak terkendali, pertengkaran-pertengkaran kecil dengan Gauguin sering terjadi.  Pertengkaran ini dipicu karena perbedaan kepribadian serta pendekatan mereka terhadap seni. 

   Mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang ekspresi artistik yaitu tentang bagaimana seorang menuangkan perasaan dan pandangan ke dalam karya seni  mereka.  Van Gogh lebih jujur dengan apa yang dilihat dan dirasakannya secara mendalam.  Melukis dengan emosional, menggunakan warna-warna cerah dan sapuan kuas yang kasar.  Van Gogh melukis dengan muatan untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman pribadinya kepada penikmat karyanya.  Sedang Gauguin lebih fokus mencari makna yang lebih dalam, Gauguin tidak hanya melukis apa yang dilihat, tetapi ingin menyampaikan ide atau konsep dalam lukisan-lukisannya.  Dengan gaya lebih sederhana, dekoratif dengan bentuk yang disederhanakan, karya-karyanya  memiliki makna spiritual. 


   Juga di antara keduanya terdapat perbedaan tentang kebebasan representasi, yaitu seberapa bebas seorang seniman dalam menggambarkan dunia di sekitar mereka.   Van Gogh dalam melukis lebih setia dengan apa yang dilihatnya, tetapi dengan sentuhan emosi dan interpretasi pribadi.  Sedang Gauguin lebih bebas untuk mengubah atau menyederhanakan bentuk dan warna untuk menciptakan efek visual yang lebih kuat dengan lukisan-lukisannya yang lebih misterius dan simbolis.   Perbedaan inilah yang sering menjadi sumber perdebatan dan pertengkaran antara mereka yang memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang penting dalam seni dan bagaimana seharusnya seni dibuat. 

   Pada tanggal 23 Desember 1888, di sebuah malam yang dingin di tengah bisingnya cafe Arles, amarah Van Gogh meledak dalam pertengkaran yang sengit dengan Paul Gauguin, pelukis yang menjadi sahabatnya sekaligus rivalnya ini, telah mencapai klimaknya ketika Van Gogh melempar gelasnya ke arah kepala Gauguin.  Setelah kembali ke Yellow House, suasana sunyi mencekam, dalam pikiran yang berkecamuk Van Gogh berjalan gontai menuju meja, di sana tergeletak pisau cukur, benda itu seolah memanggilnya, seakan menawarkan jalan keluar dari penderitaan yang tak tertahankan. 

   Van Gogh yang lagi dikuasai amarah dan keputusasaan langsung meraih  pisau cukur itu, tangannya gemetar namun tekadnya bulat, di luar kendalinya ia memotong telinga kirinya, rasa sakit yang luar biasa itu tak dirasakan.  Sambil terhuyung ia membungkus telinganya dengan selembar kertas, lalu keluar bergegas menuju rumah bordil di Rue du Bout d'Arles.  Sesampainya di rumah bordil Van Gogh menyerahkan bungkusan itu kepada seorang wanita muda. 

   Beberapa sumber mengatakan bahwa wanita itu bernama Rachel, seorang pekerja seks.  Namun, penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita itu bernama Gabrielle Berlatier, seorang pelayan yang mungkin saja bekerja sambilan sebagai tukang sapu di rumah bordil itu, namun informasi ini masih menjadi perdebatan. 

   Setelah menyerahkan telinganya Van Gogh kembali ke Yellow House, keesokan harinya para tetangga dan seorang pendeta menemukannya dalam kondisi yang mengkhawatirkan.  Mereka membawanya ke rumah sakit di Arles.  Setelah beberapa waktu dirawat di sana, Van Gogh memutuskan  secara sukarela untuk masuk ke rumah sakit jiwa di Saint Remy de Provence. 

   Dalam lukisannya yang berjudul Self Portrait With Bandaged Ear (potret diri dengan telinga yang diperban) yang dilukis pada Januari 1889, seolah-olah Van Gogh menutup telinga kanannya, perlu diingat bahwa Van Gogh melukis wajahnya menggunakan cermin, apa yang terlihat dalam efek cermin seakan telinga kanan yang diperban, faktanya, berdasarkan catatan sejarah dan surat-surat Van Gogh  telinga kirinyalah yang dipotong. 

   Kejadian malam di Arles mungkin telah merenggut sebagian dari dirinya, tetapi Van Gogh telah memberikan    sebuah cerita yang mengingatkan kita bahwa keindahan seringkali lahir dari tempat yang paling gelap.  Telinga kiri Van Gogh telah hilang, tetapi kisahnya tetap abadi, mengingatkan kita bahwa seni sejati tidak bisa pernah dibungkam, bahkan oleh kegilaan sekalipun.

(Red)

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id