Nagekeo, NTT — mgn.id. Malam 29 Juli 2025, markas Yonif Teritorial Pembangunan 834/Wakanga Mere seharusnya sunyi. Namun di salah satu sudut barak, seorang prajurit muda bernama Prada Lucky Chepril Saputra Namo sedang mengalami nasib yang tak pernah dibayangkannya.
Dugaan penganiayaan oleh belasan seniornya mulai berlangsung sejak sore. Sumber internal yang enggan disebutkan namanya menyebut, jumlah pelaku bisa lebih dari 20 orang semuanya sesama anggota TNI.
Perintah Tegas di Tengah Malam
Sekitar pukul 23.30 Wita, kabar tentang kekerasan itu sampai ke telinga Komandan Batalyon, Letkol Inf Justik Handinata. Perwira menengah dengan pengalaman tempur itu langsung bereaksi. Ia memerintahkan Komandan Kompi C, Lettu Inf Rahmat, menghentikan segala bentuk penyiksaan terhadap Prada Lucky.
“Tidak ada yang menyentuh dia lagi. Hentikan sekarang juga,” tegasnya, menurut keterangan internal.
Namun, jarak antara perintah dan realitas ternyata terlalu jauh. Kendali di lapangan tak sepenuhnya berada di tangan komandan saat itu. Malam berganti pagi, dan jejak kekerasan sudah terlanjur membekas di tubuh sang prajurit muda.
Titik Balik yang Terlambat
Enam hari kemudian, Rabu 6 Agustus 2025, Prada Lucky menghembuskan napas terakhir di RSUD Aeramo. Luka-luka di tubuhnya diduga kuat akibat kekerasan fisik berulang.
Polisi Militer bergerak cepat. Empat prajurit berpangkat Pratu diamankan. Namun jumlah yang diperiksa jauh lebih besar 24 orang kini masuk dalam radar penyidik, termasuk saksi dan terduga pelaku.
Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana memastikan proses hukum berjalan. “Sanksi terberat akan dijatuhkan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Militer,” ujarnya di Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Jawa Barat.
Sosok di Balik Komando
Letkol Inf Justik Handinata bukan komandan sembarangan. Lulusan Akademi Militer ini telah mengabdi di berbagai penugasan strategis. Disiplin dan perlindungan terhadap prajurit adalah prinsip yang kerap ia tekankan. Perintahnya malam itu adalah bentuk upaya menjaga aturan tersebut.
Namun, peristiwa ini juga membuka pertanyaan mendasar:
Bagaimana perintah komandan bisa diabaikan?
Mengapa budaya kekerasan masih bertahan di lingkungan militer?
Siapa yang benar-benar mengendalikan situasi di barak malam itu?
Budaya Senyap yang Mengakar
Bagi banyak prajurit muda, perintah senior sering kali dianggap mutlak, bahkan di luar batas aturan resmi. Mekanisme pengawasan internal kadang tak mampu menembus dinding solidaritas satuan.
Kasus Prada Lucky menjadi pukulan telak bagi citra TNI. Perintah untuk menghentikan penyiksaan memang keluar, tapi tak mampu menyelamatkan nyawa sang prajurit.
Kini, sorotan publik tertuju pada dua hal: proses hukum yang transparan dan reformasi budaya internal militer. Bagi Letkol Justik Handinata, ini adalah ujian kepemimpinan terbesar dalam kariernya dan bagi TNI, ini adalah momen untuk memutus lingkaran kekerasan yang telah lama dibiarkan hidup dalam senyap.
(Red)


Social Header