Oleh: Ipong Poernomo Sidhi
Pelukis Hamid Nabhan memburu garis, membidik titik alam raya. Garis alam yang lembut dan acapkali ekspresif bertenaga ditandai dengan pelototan cat dari tube yang membentuk tekstur diburu sampai jauh ketika ia berhadapan langsung dengan alam. Atau keelokan alam raya itu, direkam dalam memory card alat kamera yang dijinjing setiap kali bepergian , bisa juga impresi alam itu disimpan di tempurung kepalanya sampai ia hafal betul, sehingga dengan mudah akan ditransformasikan dalam bentuk lukisan. Lukisan Hamid Nabhan adalah lukisan lanskap. Artinya alam akan menjadi obyek utama karyanya, dengan beragam hamparan kelokan alam yag tak terbatas dan pemahaman lanskap yang langsung memperlihatkan fenomena alam sawah yang bertingkat di Bali, gedung tua di Surabaya, pohon kelapa melambai di berbagai pelosok Nusantara, juga manusia-manusia yang beraktivitas. Bisa saja lukisan lanskap semacam ini berakar pada praktik seni lukis Belanda abad 17 yang kemudian menduduki posisi utama seni lukis Inggris. Pada akhirnya seni lukis lanskap ini lebih focus menggarap gambar flora fauna dan menjadi juru topografi untuk mengeksplorasi wilayah-wilayah di suatu tempat.
Bagi saya metode atau cara yang diterapkan Hamid Nabhan lebih dekat dengan gerakan Impresionisme yang muncul di Paris sekitar tahun 1870-an, yaitu melukis di luar ruang. Sekat-sekat ruangan yang kadang menghimpit dan membatasi ruang gerak seniman tidak cocok dengan nilai akhir yang mereka inginkan. Pelukis impresionis menemukan bahwa mereka dapat menangkap efek dramatis cahaya matahari dengan cara yang disebut sebagai en plein air. Dalam melukis mereka menggunakan goresan kuas pendek-pendek dengan warna primer yang menyala yang bisa dicampur dengan warna lain utuk memberikan efek vibrasi warna yang intensif.
.
Karakter lukisan impresionisme sering ditandai dengan ukuran lukisan yang relative kecil, tipis, goresan kuas yang dominan, dengan mengolah komposisi yang terbuka dan menggambarkan pergantian cahaya yang berubah sesuai perubahan waktu (pagi, siang, sore, malam), dengan melukiskan kehidupan sehari-hari dan kadangkala menggunakan sudut visual yang tidak umum.
Impresionisme memang menjadi sebuah gerakan sekumpulan seniman yang karya-karya mereka ditolak oleh Academie de Beaux Arts, yang didominasi oleh tren seni rupa Perancis pada akhir abad ke-19. Akademi ini mematok harga tinggi dalam bentuk standar dalam soal isi lukisan (content) dan gaya (style). Lukisan yang menggambarkan sejarah, tema-tema agama, dan potret dinilai tinggi, sementara lukisan lanskap dan gambar bentuk (still life) tidak. Pantas saja lukisan lanskap beberapa pelukis muda ditolak dalam Salon de Paris yang dinilai oleh beberapa juri yang menentukan standar nilai tinggi ini.
Penolakan ini tidak saja menggelisahkan para pelukis muda, tapi juga Kaisar Napoleon III yang menyetujui diselenggarakan pameran pelukis muda yang ditolak oleh Akademi ini pada tahun 1863, dan biarkanlah publik yang menilai karya mereka. Maka diorganisasilah Salon de Refuses yang secara fisikoplastik sangat berbeda dengan harga patokan standar zaman itu.
Banyak orang datang menyaksikan pameran ini. Walaupun banyak orang yang menyaksikan pameran ini lebih mentertawakan, mencibir, dan menganggap lelucon, namun Salon de Refuses menarik atensi yang menganggap pameran ini lebh banyak menarik pengunjung dibandingkan dengan pameran Salon yang diadakan secara reguler.
Sukses dengan pameran pertama, para seniman membuat petisi untuk diadakan lagi pameran Salon de Refuses pada tahun 1867, dan lagi 1872 yang ditolak mentah-mentah. Maka mereka merancang pameran di sebuah studio tua milik fotografer Nadar di Paris yang diikuti 30 seniman yang diadakan pada tahun 1874. Respon kritik beragam dan Claude Monet serta Paul Cezanne mendapat cercaan paling keras. Kritikus Louis Leroy menulis di Koran Le Charivari berjudul “Pameran Para Impresionis” yang mengejek lukisan karya Claude Monet berjudul Impression, Sunrise (Impression Soleil Levant). Namun kata impresionis terdengar merdu di telinga dan para peserta pameran ini sepakat kata “impresionis” dipakai sebagai nama gerakan para pelukis ini. Begitulah. Jangan salah tafsir. Paparan agak panjang ini lebih menggarisbawahi metode kerja pelukis Hamid Nabhan yang dilakukan di luar ruang (out door) yang mirip dilakukan para pelukis Impresionis, dan bukan mengupas pengaruh apalagi corak hasil akhir karya Hamid Nabhan yang sama sekali berbeda
Pendekatannya Lukisan Hamid Nabhan lebih melukiskan alam dalam suasana yang konsisten: suasana damai, tenang, tenteram, sepi, terkadang nglangut. Tidak digambarkan keriuhan kehidupan suasana yang diwakili sosok-sosok manusia yang berkumpul beraktivitas. Ada beberapa menggambarkan mbok-mbok atau laki-laki menyunggi kayu bakar dengan latar pepohonan atau sawah yang “lebih hidup” karena hadirnya sosok manusia ini. Sebagian besar justru lebih menghadirkan kedamaian dan kelengangan alam, maklum, ia ingin menangkap harmoni alam dalam warna (Nature Harmony in Color), sebagai tema pameran ini. Ia melukiskan keindahan hamparan sawah yang berundak di Bali, sungai di sudut desa yang mengalir pelan dan tenang, jalan setapak di perbukitan dengan cara yang ekspresif atau impresionistik, atau bale bengong di tengah perumahan yang dikungkungi oleh alam yang damai.
Karya Hamid Nabhan adalah karya yang dibuat tanpa pretensi mengikuti arus pasar. Ia seakan tak peduli dengan hiruk pikuk tren pasar yang berlimpah dengan karya-karya yang disebut kontemporer. Ia tetap dengan kedamaian hati melukis dengan mengambil tema harmoni alam yang sesuai dengan suasana jiwa dalam tampilan yang dilandasi kejujuran. Saya kira nilai kejujuran adalah nilai pokok seorang seniman dalam berkarya. Tanpa kejujuran, seorang perupa akan menghasilkan karya yang pura-pura, artifisial, yang pada akhirnya akan menghasilkan karya yang tidak bermakna.
Kejujuran adalah nilai penting setiap menyaksikan karya Hamid Nabhan, Ia percaya akan kata-kata Sudjojono bahwa sebuah lukisan merupakan “jiwa nampak” seorang pelukis. Lukisan itu hadir apa adanya, tanpa rekayasa, jujur, dan inilah nilai utama karya-karya Hamid Nabhan.
Jakarta, Agustus 2010
(*) Perupa
Social Header