Wolowae, Nagekeo - mgn.id. Warga Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, NTT, mendesak aparat penegak hukum untuk segera menuntaskan dugaan korupsi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BumDes Bersama) tingkat kecamatan atau yang dikenal sebagai Bumcam Wolowae.
Kasus ini menyeret nama Yohanes “Yan” Siga, Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Nagekeo dari Partai Gerindra, yang diketahui menjabat sebagai Direktur Bumcam Wolowae sejak 2016 hingga kini. Selama bertahun-tahun, pengelolaan dana miliaran rupiah dinilai dilakukan secara tertutup, tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya melekat pada lembaga pengelola dana publik.
Asal-Usul Dana dan Minimnya Aturan
Bumcam Wolowae dibentuk sebagai transformasi dari program PNPM Mandiri Pedesaan. Dana yang tersisa dari program itu, sekitar Rp3,7 miliar, kemudian dikelola oleh lembaga baru, namun tanpa disertai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang disahkan.
“Sejak awal tidak ada dasar hukum yang jelas. AD ART tidak disahkan, tapi Yan tetap menjabat direktur hingga hari ini,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Dana Mengalir ke Luar Kecamatan, Tanpa Pertanggungjawaban
Audit Inspektorat tahun 2022 menemukan dana bergulir tidak hanya disalurkan ke warga Wolowae, tetapi juga ke dua kecamatan lain: Aesesa dan Aesesa Selatan—dua wilayah yang juga menjadi basis politik Yan Siga saat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD.
“Dana ini dilepaskan ke semua kalangan: ASN, pedagang, bahkan camat dan istrinya. Tidak ada batasan, tidak ada evaluasi,” ungkap sumber warga.
Salah satu transaksi mencurigakan adalah pinjaman Rp400 juta ke BumDes Kecamatan Aesesa yang kemudian digunakan untuk proyek air minum dan jalan ke Mbay—yang hingga kini mangkrak.
Selain itu, pembelian aset berupa tanah di dua desa (Anakoli dan Ratedao) dilakukan tanpa musyawarah dan persetujuan dari pemilik dana—masyarakat lima desa yang tergabung dalam Bumcam.
Audit Dinilai Lemah dan Tidak Independen
Inspektorat disebut hanya fokus pada kerugian kecil yang dilakukan bendahara, sebesar Rp61 juta, dan justru “mengesahkan” penggunaan dana operasional sebesar Rp700 juta tanpa dasar hukum yang kuat.
“Tidak pernah ada rapat, tidak pernah disetujui. Tapi dana Rp700 juta habis untuk operasional? Atas dasar apa?” kritik warga.
Menurut laporan yang ditolak kepala desa dalam evaluasi keuangan 2022, dari total dana Rp3,7 miliar hanya tersisa Rp12 juta di kas. Warga mencium adanya upaya manipulasi laporan agar terlihat wajar di atas kertas.
Dalih Pengurus dan Lambannya Penegakan Hukum
Bendahara Bumcam, Edy Hardianto, mengakui macetnya dana karena sebagian besar peminjam menganggap dana tersebut sebagai hibah. Bahkan, menurutnya, ada yang membayar “dengan ikan kering dan telur ayam.”
Yan Siga sendiri mengklaim bahwa pengelolaan telah dilakukan sesuai prosedur, dan menyebut dana yang bergulir hingga pertengahan 2024 masih mencapai Rp2 miliar lebih, meski tidak menyertakan bukti valid di hadapan publik.
Sementara itu, Polres Nagekeo menyatakan telah menyelidiki kasus ini dan memeriksa beberapa staf Bumcam. Namun, hingga pertengahan Desember 2024, Yan Siga belum dimintai klarifikasi.
Ketua DPC Gerindra Nagekeo Silvester Loye menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi kader yang terlibat korupsi, sesuai dengan komitmen nasional partai tersebut.
(Red)
Social Header