Oleh: Hamid Nabhan
Seseorang bisa dikatakan sebagai pahlawan bilamana ia diakui telah berjasa besar demi kebaikan orang lain, masyarakat atau negaranya. Banyak pahlawan di negeri ini yang ikut memberikan sumbangsih bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Aboed Mahri, pria kelahiran Kota Malang pada 3 Agustus 1925 Ketika Aboed masih bayi, ayahnya meninggal dunia, sehingga ia hidup dan diasuh oleh pamannya yang bernama Saleh Mahri, seorang montir. Dari dialah Aboed kecil mulai berkenalan dengan seluk-beluk perawatan dan perbaikan kendaraan bermotor. Memasuki usia remaja, Aboed mengawali profesinya sebagai montir di satu bengkel besar di Kota Malang. Tanpa disadari, kelak profesi ini membuka jalan bagi Aboed muda untuk membantu para gerilyawan pejuang kemerdekaan yang bersembunyi di pinggiran Kota Malang.
*Masa penjajahan Jepang*
Perang Dunia ke-2 mengakhiri kekuasaan Belanda di Nusantara. Jepang menjadi penguasa baru di negeri ini (1942-1945). Selama masa penjajahan Jepang yang berlangsung 3,5 tahun adalah masa paling sulit yang dirasakan Aboed Mahri. Menurut penuturan Muhammad Najib dan Rosida, dua dari sembilan anak kandung Aboed Mahri, ayahnya pernah bercerita bahwa masa penjajahan Jepang yang hanya berlangsung 3,5 tahun itu adalah masa yang paling menyengsarakan rakyat Indonesia. Saat itu kelaparan terjadi di mana-mana, berbagai penyakit menjangkiti penduduk dan banyak orang meninggal tanpa adanya pengobatan. Harta benda -- mulai dari paku, peniti, kain gorden hingga perhiasan -- yang dimiliki rakyat dirampas paksa dengan kejam. Aliran listrik bisa dipadamkan sewaktu-waktu. Semua toko dipaksa buka dan isinya dirampas. Berani melawan...? Nyawa taruhannya. Bahan pangan hanya cukup untuk makan satu kali sehari. Banyak dari rakyat sampai mengganjal perutnya dengan batu agar bisa sedikit menahan lapar.
Di masa penjajahan Jepang ada semboyan "3A" yaitu "Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia." Tentara Jepang mewajibkan rakyat untuk patuh terhadap segala instruksi Kaisar Jepang. Untuk kawasan Malang dan sekitarnya, Jepang membuat dua program bagi pemuda pribumi. Pertama, gerakan Romusha (kerja paksa) dengan kegiatan utama membuat jalan tembus dari desa Junggo kota Batu (saat itu masih kecamatan Batu) sampai kota Mojokerto. Kedua, pembentukan lasykar Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang dalam bahasa Jepang disebut _Kyodo Boei Giyugun,_ sebagai persiapan perang menghadapi Sekutu.
Aboed Mahri direkrut sebagai anggota lasykar dan ditunjuk sebagai wakil kepala barisan _(disebut Fukuhancok)_. Dalam latihan militer kewajiban yang diterima sehari-hari adalah berlatih baris-berbaris yang dilakukan dari lapangan Hombo di Talun sampai tangsi militer di daerah Rampal di Malang.
*Kekalahan Jepang*
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Berita ini disambut gembira oleh rakyat Indonesia, yang disusul dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ternyata kebahagian itu tidak berlangsung lama. Hanya dua bulan sejak dikumandangkannya proklamasi, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang diwakili oleh Inggris yang saat itu dipimpin oleh Brigadier A.W.S. Mallaby dengan kekuatan 6.000 personel tentara Gurkha asal Nepal mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Perlawanan rakyat pun tak terbendung.
Sebagai seorang pedagang barang dan jasa antar kota Malang - Surabaya - Malang, Aboed Mahri, yang berhubungan erat dengan para pejuang, tenaganya dibutuhkan sebagai informan dan penghubung untuk beberapa kepentingan gerilya di kedua kota tersebut. Saat itu tokoh Bung Tomo, tokoh perlawanan Jawa Timur, bersama rakyat mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan. BPRI menghimpun perlawanan rakyat terhadap kehadiran kembali Belanda yang ingin berkuasa kembali dengan membonceng Sekutu.
*Menikah dan pindah ke Kota Batu*
Tahun 1946 Aboed Mahri menikahi gadis pilihannya asal Kota Batu, Solikha namanya. Perjuangan berlanjut. Sang istri pun turut berjuang, di antaranya dengan menyediakan konsumsi makanan di dapur umum bagi para pejuang.
Bersama tokoh perlawanan di Kota Batu, antara lain Minsuwarso dan Pramoe, pada awal 1946 Aboed Mahri ikut mendirikan cabang BPRI pimpinan Bung Tomo di Kota Batu. Sebagai informan organisasi, tugas Aboed diantaranya adalah melindungi Bung Tomo _[yang saat itu menjadi incaran tentara Sekutu]_ dengan cara memberitahukan keberadaan posisi tentara Sekutu. Pada saat menjalankan misi tersebut Aboed Mahri bersama rekan seperjuangannya sering bermalam di rumah kediaman keluarga istri Bung Tomo di dekat stasiun Mojokerto.
Bisa dibayangkan, kala itu informan bukan tugas yang ringan karena tidak semua orang memiliki alat komunikasi seperti telepon. Alat transportasi pun sangat terbatas. Terkadang untuk mencapai suatu tempat harus dilalui dengan berpindah-pindah kendaraan dari sepeda, dokar, kereta api dan bus. Bahkan untuk lokasi yang dirahasiakan harus dilalui dengan berjalan kaki baik siang, malam maupun di pagi buta.
*Ditangkap Belanda*
Pada suatu hari, saat sedang berjalan mencari informasi dan melihat kondisi di kawasan Jalan Kayutangan Malang (waktu itu _Kajoetanganstraat_ dan sekarang Jalan Basuki Rahmat) Aboed ditangkap oleh Belanda dan diinterogasi karena dicurigai sebagai pemberontak. Aboed menyatakan dirinya warga sipil biasa tapi tentara Belanda tetap curiga dan mewajibkannya untuk datang melapor tiap hari Senin dan Kamis. Lama-kelamaan kewajiban "setor muka" ini dirasa menjemukan. Maka Aboed meminta untuk menukarnya dengan "hukuman" lain. Akhirnya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya Aboed diminta menjadi _helper_ montir di bengkel militer Belanda. Di bengkel ini Aboed Mahri bertemu dengan para pejuang senior. Bersama-sama mereka merancang kegiatan menyelundupkan kebutuhan logistik untuk kepentingan gerilyawan di pinggiran Kota Malang. Berbagai barang berhasil dikirimkan mulai dari biskuit, roti, obat-obatan, hingga peluru yang dicuri dari bengkel tersebut untuk diberikan kepada para pejuang, termasuk untuk gerilyawan yang beroperasi di Kota Batu.
Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Aboed Mahri memanfaatkan _test drive_ kendaraan Belanda yang telah diperbaiki. Kendaraan diisi dengan logistik yang diperlukan dan dikirimkan kepada para gerilyawan di batas kota. Tak semua berjalan mulus. Ada pengalaman yang sangat mendebarkan... Pada suatu hari Aboed Mahri berjanji untuk menemui para gerilyawan di jalan Salak kota Malang _(saat itu jl. Salak masih sangat sepi, di sepanjang kanan kiri dipenuhi dengan tanaman jagung)_. Ia meminta surat ijin melakukan _test drive_ kendaraan, lalu Aboed berangkat dengan membawa amunisi yang diambil dari bengkel. Sesuai dengan kesepakatan, amunisi hendak diserahkan kepada para pejuang yang telah menunggu di lokasi tersebut. Saat peluru akan diserahkan, tiba-tiba terdengar suara mobil patroli Belanda. Seluruh pejuang yang ada berhamburan lari bersembunyi untuk mengamankan diri. Mobil patroli mendatangi kendaraan yang dikemudikan oleh Aboed Mahri, mereka curiga karena ada kendaraan Belanda yang berhenti di lokasi tersebut. Ketika diperiksa Aboed memberikan surat ijin lengkap dan menjawab semua pertanyaan dengan tepat. Untungnya personel militer Belanda tidak melakukan penggeledahan. Mobil patroli pun meninggalkan lokasi.
Suasana konflik yang terus meningkat memakan korban dua anggota keluarga Solikha. Said dan Royis, dua orang kakak ipar Aboed Mahri yang juga sama-sama berjuang, hilang diculik. Setelah lama baru mayatnya ditemukan lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pujon. Menurut saksi hidup yang berasal dari Pujon, Said dan Royis menjelang akhir hayat mereka diseret dengan kuda dan dikubur hidup-hidup. Saat dimasukkan kedalam lubang galian dalam kondisi hidup, sayup masih terdengar teriakan _"Merdeka...!!! Allahuakbar...!!!"_
Setelah masa pendudukan tentara Belanda/Sekutu berakhir Aboed Mahri tetap menjalin hubungan baik dengan rekan seperjuangannya seperti Brigjen Abdul manan, Wijoyo, Mayor Wajib, Minsuwarso, Pramoe, dan lain-lain. Bung Tomo pun menyempatkan diri berkunjung ke rumah Aboed Mahri di Kota Batu hanya sekedar untuk berdiskusi sambil bermain catur.
Beberapa kontribusi Aboed Mahri yang sampai sekarang masih bisa dinikmati oleh penduduk Kota Batu di antaranya adalah:
*Renovasi Taman Makam Pahlawan*, yang proses pemugarannya melibatkan Aboed Mahri sebagai koordinator Pelaksana Renovasi sekaligus koordinator penggalangan dana dari seluruh masyarakat kota Batu. Untuk menekan pengeluaran pembiayaan, setiap desa diwajibkan mengirimkan 10 personil secara bergiliran setiap harinya hingga proses pengerjaan selesai. Saat ini bisa disaksikan TMP _Suropati_ dengan patung pahlawan _(patung hasil karya Iksan Sulianto)_ yg merobek bendera Belanda Merah Putih Biru, yang hingga saat ini tetap berdiri dengan kokohnya dibagian depan TMP Suropati.
Dia juga berperan sebagai *Mediator Pembangunan Stadion Sepakbola Kota Batu* dengan jalan tukar guling Stadion lama yang akan difungsikan sebagai pabrik Textil Wastra Indah. Aboed Mahri menekankan bahwa stadion pengganti harus lebih luas dan bisa difungsikan sebagai stadion dengan taraf Nasional. Permintaan tersebut dipenuhi, hingga saat ini kota Batu memiliki stadion bertaraf Nasional yang bisa dibanggakan.
Dalam bidang keagamaan, Aboed Mahri menjadi *Ketua Organisasi Muhammadiyah* selama tiga periode. Selama masa kepemimpinannya telah berdiri Masjid At-Taqwa & Sekolah Muhammadiyah di kota Batu yang hingga saat ini tetap berdiri sebagai saksi hidup jejak kepemimpinannya.
Disamping itu, pasangan Aboed Mahri dan Solikha semasa hidupnya juga banyak memberikan sumbangsihnya dimasa setelah kemerdekaan, Aboed Mahri selalu mewakili umat Islam di acara-acara resmi keagamaan di kota Batu; Pernah menjadi pengurus LVRI; Sebagai Tokoh Masyarakat disetiap Peringatan Kemerdekaan Kota Batu dan acara-acara resmi lainnya.
Sedangkan Solekha selalu terlibat didalam acara-acara yg diselenggarakan PHBI (Peringatan Hari-Hari Besar Islam); Bertahun2 dipercaya sebagai ketua BKOW (Badan Koordinasi Organisasi Wanita) yg membawahi puluhan organisasi yg ada di kota Batu; Aktif di kegiatan sosial kemanusiaan di kota Batu; Memiliki kontribusi yang cukup besar dalam ikut serta mencerdaskan ibu-ibu rumah tangga dengan menjadi tenaga pengajar ketrampilan di PKK kota Batu secara gratis; Pernah menjadi ketua Aisyiyah Ranting Batu; Selalu terlibat sebagai pioneer dalam sosialisasi Program2 Pemerintah karena Solekha diketahui memiliki basis massa yang cukup banyak di setiap desa di kota Batu; Serta segala aktifitas Sosial keagamaan dan kemasyarakatan lainnya
Seperti kebanyakan keturunan Arab lain, Aboed Mahri pun menolak untuk menerima tanda jasa, karena menurutnya dia berjuang lillahi ta'ala tidak untuk mendapat imbal jasa. Akhirnya atas desakan teman-teman seperjuangan dan juga untuk kepentingan anak keturunannya akhirnya Aboed Mahri bersedia menerima penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara. Dengan surat keputusan dari negara Aboed Mahri mendapat penghargaan sebagai veteran golongan C dengan Nomor Pokok Veteran (NPV) 12.065.530.C sedangkan Solikha mendapat gelar veteran golongan E dengan NPV: 12.086.866.E.
Solikha wafat di kota Batu, di usia menjelang 67 tahun pada tanggal 2 Oktober 1998. Sedangkan Aboed Mahri wafat di usia menjelang 94 tahun tepat pada tanggal 20 Januari 2019. Solikha & Aboed Mahri dimakamkan di pemakaman umum Lesti, sesuai wasiat. Namun proses pemakaman Aboed Mahri mendapat penghormatan resmi secara militer dari Negara.
Itulah sekilas perjuangan seorang Aboed Mahri (beserta keluarganya) yang hidupnya didedikasikan untuk perjuangan bangsa dan negaranya. Aboed Mahri dikenal sebagai sosok yang relijius, cerdas, santun, bijaksana dan dikenal sebagai sosok penyatu.
_*Wawancara dengan Muhammad Najib dan Rosida selaku putra dan putri dari Aboed Mahri, via telepon pukul 15.30-17.00 WIB pada tanggal 10 Maret 2025._
(Red)
Social Header