Oleh: Agus Koecink (*)
“Guru saya mengajari melukis alam, ada keprihatinan kenapa saya harus melukis alam yang sudah banyak berubah ini?”
(Hamid Nabhan)_
Pemandangan alam baik sawah, sungai yang mengalir, tumpukan jerami di sawah, pohon randu yang indah, dan pemandangan gunung merupakan keindahan yang biasa kita jumpai kala kita berada di desa-desa yang ada di Nusantara ini. Keindahan itu banyak memberikan spirit untuk melahirkan karya-karya yang bernuansa Indonesia indah.
Pemandangan alam bagi orang awam hanyalah pemandangan yang setiap hari dilalui tanpa menimbulkan kesan tertentu. Bagi seniman, pemandangan alam memberikan rasa keindahan tersendiri, seniman memuja alam sebagai sumber inspirasi yang dalam prosesnya si seniman mereproduksinya dari alam asli ke dalam sebuah karya seni lukis dan kemudian alam hasil reproduksi itu diapresiasikan pada masyarakat. Publik yang melihat keindahan alam dalam ruang pameran akan merasa kagum akan keelokan negeri ini dan mengingat-ingat kembali keberadaan alam aslinya yang telah dipindah ke dalam kanvas oleh seniman. Akan tetapi karya seni lukis pemandangan alam juga bisa menimbulkan perdebatan, karena perbedaan pandangan. Ada yang menganggap bahwa melukis alam tanpa melihat realitas yang sesungguhnya terjadi di depan mata adalah sebuah karya tanpa wacana dan tidak membangkitkan spirit nasionalisme. Tetapi di lain sisi ada yang beranggapan dengan melukis pemandangan alam adalah sebuah keindahan yang tidak terbantahkan oleh awam yang melihatnya.
Polemik antara S. Soedjojono dengan Basuki Abdullah. Mengingat pada masa itu dimana lukisan pemandangan alam yang indah mendapat celaan dari kubu S. Soedjojono yang memberikan kritikan bahwa karya-karya pemandangan alam Indonesia yang indah dan molek hanya sebagai tour de force tanpa teknik dan arti apa-apa. Artinya karya-karya pemandangan alam dianggap hanya melukis yang indah-indah saja tanpa melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat saat itu.
Namun tidak semua pengamat dan peminat seni lukis setuju akan pendapat S. Soedjojono, mengingat celaan tersebut lahir disebabkan oleh sentiment seniman bumi putera terhadap jagad seni lukis kolonial. Pada sisi lain disebabkan oleh faktor artistik dimana seni lukis kolonial dianggap berada di belakang aliran-aliran lain yang berkembang saat itu, yang dinilai lebih progresif dan sarat mengandung citra modernisasi.
Di balik pro dan kontra tersebut ternyata sampai saat ini lukisan pemandangan alam masih diminati dan disukai masyarakat. Salah satunya adalah pelukis Hamid Nabhan, dengan menyandang easelnya ke luar, pergi ke ladang, hutan, dan sungai, ia melukis tempat-tempat tersebut on the spot, yang popular pada masa seni lukis impresionisme. Karya-karya yang lahir dari proses penciptaan Hamid pada saat melukis langsung ke alam terasa ada pencitraan yang berbeda pada masa Basuki Abdullah, Wakidi, dan Raden Saleh. Pengaruh lingkungan alam yang sudah berubah saat ini sangat mempengaruhi visual dalam karya-karyanya terutama dalam hal komposisi, pencahayaan, goresan, dan pewarnaan. Tetapi patut diingat bahwa sebuah karya seni akan mempunyai karakter yang berbeda-beda karena pengaruh ruang dan waktu.
Hamid lahir pada masa ketika alam mulai berubah dari alam agraris menuju industri, sehingga lukisan-lukisan pemandanganyapun tidak akan bergaya seperti pada jaman “Mooi Indie”. Sebagai contoh, bangunan banyak berubah, hutan gundul, sungai yang kering tidak mengalir, dan sawah-sawah yang telah berganti menjadi perumahan dan pabrik. Tetapi Hamid diberi kepekaan untuk memilih, menangkap, dan melukiskan sebuah keindahan, sehingga alam yang berubah tidak menjadi suatu persoalan dan di tengah-tengah perubahan itulah ia masih menikmati goresannya untuk memburu larinya cahaya matahari.
Obyek-obyek lukisannya tetap menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia adalah alam yang elok dan gemah ripah loh jinawi, seperti karyanya berjudul ‘Kebun Teh Lawang’, Sawah di Krian, dan Kebun Ketela di Trawas. Kesan cahaya matahari pada goresan-goresan kuas yang menghidupkan obyek menjadi berdimensi, goresan yang halus mengingatkan kita pada tokoh impresionisme seperti Monet. Hamid menuturkan , sebelum melukis ia mencari obyek-obyek yang sehati dengan keinginannya untuk mengekspresikan gejolak jiwa ke dalam karyanya. Ketika bertemu dengan sawah maupun pemandangan yang luas tetapi tidak menggerakkan keinginannya untuk melukis, maka Hamid tidak akan mencurahkan ekspresi keiindahannya ke dalam kanvas. Perburuannya terhadap obyek juga bisa dikatakan perburuan terhadap cahaya-cahaya yang menyinari obyek membentuk sebuah benda menjadi indah.
Keindahan apa sebenarnya yang hendak ditangkap oleh Hamid Nabhan saat melukis di luar studionya itu? Pertanyaan itu muncul ketika saya harus mengamati karya-karyanya yang menunjukkan komposisi dengan warna kehijau-hijauan dengan pengambilan sudut pandang yang khas seperti pohon dan penggalan apakah itu adalah penggalan jalan, sungai, atau sawah. Pada centre of interest pohon-pohon seperti pada karya Pohon I, Pohon II, Sawah di Tulangan Sidoarjo, dan Sawah di Krian, Hamid melukiskan keindahan sebuah pohon, keindahan yang bermuara dari pencahayaan sinar matahari dan alam di sekitar pohon-pohon itu. Ketika pohon-pohon itu gelap, maka benda-benda kecil yang menempel dan relung-relung yang ada pada pohon itu tidak nampak mempesona, tetapi ketika cahaya itu secara perlahan-lahan datang mengikuti waktunya, seketika juga pohon-pohon itu seakan-akan mempunyai ruh. Hamid tetap seorang pelukis yang tidak terpengaruh pada kondisi seni rupa dengan boom seni lukis kontemporer yang melanda sebagian wilayah Negara Indonesia akhir-akhir ini. Kondisi seni rupa dimana generasi pelukis muda mendapat angin segar untuk merasakan nikmatnya lembaran kertas hijau dari meruahnya orang-orang yang berkeinginan menjadikan karya lukis seni sebagai investasi masa depan. Trend seni lukis kontemporer dengan berbagai wacana yang bersinggungan dengan teknologi telah menghasilkan karya-karya yang hampir mirip, hanya beda tema. Di tengah gemuruhnya seni rupa yang demikian itu, ia masih menghadirkan obyek-obyek sederhana seperti Kebun Teh Lawang,
Pemandangan di Lawang, Randu II, dan Sungai di Sudut Kota Surabaya. Pemandangan sekitar kebun teh Lawang itu mengingatkan saya ketika berlibur bersama-sama teman sekantor saat melepaskan kepenatan menikmati keindahan alam di sebuah kebun teh. Melihat karya Hamid Nabhan berarti juga kita mereflesikan tentang keindahan dan kekayaan pulau-pulau yang ada di Nusantara. Karya-karyanya tidak hanya bisa menyejukkan sebuah ruangan, tetapi juga jiwa-jiwa yang melihat karyanya. Dalam konteks ini, karya-karya Hamid bisa memberikan sebuah pengharapan bagi pentingnya menjaga alam sekitar. Karena jika alam semesta ini rusak, maka manusia yang hidup menyatu dengan alam juga akan mengalami kehancuran. Konsep Hamid didasari ketika ia menjadi mahasiswa pertanian, saat dimana ia bersentuhan dengan alam sebagai materi pembelajarannya. Alam ternyata mengingatkan kesadaran Hamid untuk mengolah kepekaan seninya. Berdasarkan pengalaman masa lalunya, ketika guru gambar mengajarinya tentang melukis alam sebagai sumber inspirasi, maka Hamid sampai saat ini tetap menjadikan alam sebagai tempat untuk mencairkan ide-ide keprihatinannya tentang alam yang mulai berubah.
Kesederhanaan lukisan-lukisannya menandakan bahwa melukis tidak harus mencari inspirasi dengan semedi atau bertapa, tetapi ia menemukan inspirasi dengan berjalan, rekreasi ke swah, kota, sungai, dan desa. Semua itu akan melahirkan karya-karya yang pada saatnya nanti akan mempunyai nilai sejarah berdasarkan rentang waktu perubahan-perubahan alam yang terjadi. Apa yang dilukiskan Hamid pada hari ini, kemungkinan akan bermanfaat untuk generasi berikutnya yang tidak akan bisa melihat alam seindah yang digambarkan Hamid Nabhan pada karya-karyanya.
(*) Agus Koecink, Perupa, Penulis Seni Rupa
www.aguskoecink.blogspot.com
Social Header