Breaking News

Tino Sidin, Pelukis Yang Pernah Pinjam Uang Soeharto


Oleh: Hamid Nabhan

   Di era tahun 80 an, TVRI sebagai stasiun televisi Indonesia rutin menyiarkan acara untuk anak anak yaitu Gemar Menggambar.     Program ini dibawakan oleh seorang pria dengan trade marknya memakai baret hitam berkuncir dan cangklong yang kadang terselip dibibir setiap kali pria tersebut memamerkan gambar kiriman anak anak dari seluruh nusantara yang selalu terucap kata, ya… Bagus….Bagus. Dia adalah Tino Sidin.

    Tino Sidin bahkan tak pernah mengkritik gambar tentang langit yang tak biru, tanah yang ungu atau ayam dengan warna merah. pokoknya semua gambar menurutnya bagus. Ia adalah seorang yang mempunyai kekuatan dalam goresan sketsanya dan selalu mengajak anak anak bahwa menggambar itu mudah.     Menggambar hanya paduan dari garis garis lurus dan garis garis lengkung.

   Tino Sidin merupakan lulusan dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) jogyakarta tahun 1963, ia merupakan putra Jawa kelahiran Tebing Tinggi, Sumatra Utara 25 November 1925. Pada masa kecilnya, ia memang sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia melukis, walaupun ditentang oleh orang tuanya karena dianggap profesi ini tidak akan menghidupinya kelak.

    Menggambar ibarat mengeja abjad-abjad, sedangkan melukis adalah bagai mengarang novel, demikian pernah dikatakan oleh Tino Sidin yang karyanya juga dikoleksi presiden pertama yakni Soekarno. Bagi Tino Sidin tak ada lukisan anak anak yang buruk karena setiap karyanya masing masing memiliki karakter yang unik. Prinsip Tino Sidin adalah membuat boca boca itu bergembira dan suka menggambar.    Kecintaan Tino Sidin pada dunia lukis dan anak anak tersebut sungguh bertolak belakang dengan kehidupan masa lalunya yang penuh dengan kekerasan.      Melihat latar belakangnya pada masa masa revolusi kemerdekaan memang membuat Tino Sidin ikut berjuang dalam situasi kekerasan yang jauh berbeda dengan masa-masa kedekatan dengan anak-anak melalui seni lukis, sebab Tino Sidin pernah ikut andil dalam perang revolusi kemerdekaan dengan menjadi polisi tentara devisi dua Tebing Tinggi di tahun 1945      Tidak hanya itu, pada masa pergerakan revolusi setelah kemerdekaan yaitu pada tahun 1946 sampai 1949 ia ikut terlibat lagi dengan bergabung menjadi anggota tentara pelajar Brigade 17 Yogyakarta bersama-sama para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

   Disamping hobi coret coret, Tino Sidin juga menulis beberapa buku tentang menggambar dan cerita bergambar. Diantara buku buku yang ditulisnya adalah Mari Menggambar yang terdiri dari 10 jilid, ibu Pertiwi, Bawang Merah Bawang Putih. Tino Sidin juga mempunyai hobi yang lain yaitu gemar mengoleksi topi baret dan salah satu koleksi baretnya merupakan hadiah dari orang nomer satu di Indonesia saat itu, siapa lagi kalau bukan presiden Soeharto juga mentri pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef juga pernah menghadiahi baret untuknya.

   Tino Sidin tutup usia pada 29 Desember 1995 pada usia 70 tahun, beliau meninggal di rumah sakit Dharmais Jakarta dan dimakamkan di Kwaron Desa Ngesti Harjo Bantul Yogyakarta.

    Pada tahun 2017 tempat kediaman beliau dijadikan Museum Taman Tino Sidin, ditempat ini pengunjung dapat menyaksikan karya-karyanya, juga beberapa barang koleksi Tino Sidin seperti kaset, jam tangan, koleksi baret sampai kacamata, dan menariknya dimuseum ini juga terdapat surat hutang Tino Sidin kepada presiden Suharto, pada saat itu dalam kondisi mendesak beliau meminjam 7 juta rupiah karena ingin membeli rumah, setelah angsuran pertama Tino Sidin sakit dan pada saat itu pak Harto merelahkan pinjaman tersebut.

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id