Breaking News

SANG BADUT DAN PENYAIR

 

Oleh: Hamid Nabhan

Seorang badut mencoba menghibur
Hatinya masygul, tawanya terkubur
Seorang penyair merangkai prosa
Hatinya sepi, kata-katanya berbisa_

(1)

Sore hari di Taman Balai Kota. Orang-orang duduk melepas lelah. Cuaca sedikit mendung. Seperti hari-hari biasanya, Pulot Sang Badut datang ke taman itu dengan bersepeda. Ia kemudian menuju tempat duduk, dimana teman yang biasa diajaknya bicara bertukar pikiran berada. Dia seorang penyair separo baya, berambut putih, berperawakan agak gemuk. Dia sudah lebih dulu datang dan duduk di situ. Keduanya langsung terlibat percakapan begitu akrab, mengisahkan hal-hal yang baru dialami. Kadang diselingi dengan suara tawa.
Sang Penyair, dengan suara baritone yang berat, menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin ditanyakannya, namun belum kesampaian. Sekaranglah saatnya.
“Pulot, aku ingin bertanya tentang arti namamu. Rasanya begitu asing di telingaku.

Pulot terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Sang Penyair.
“Ya, nama itu pemberian ayahku. Dia terilhami oleh perempuan selingkuhannya, seorang wanita Philipina. Kabarnya, perempuan itu bertubuh seksi dan berbakat menggoda lelaki. Ayahku tergila-gila padanya, lupa rumah dan tega meninggalkan keluarga, pergi bersamanya,” jelas Pulot.
“Nama itu sebenarnya diambil dari nama kucing kesayangan wanita itu,” lanjutnya.
“Oh maaf. Rasanya sedih mendengar ceritamu, Pulot. Lalu, apa arti nama itu?” desak Sang Penyair yang semakin penasaran.

“Ayahku tak pernah memberitahu ibuku apa arti nama itu. Kelak kemudian seseorang mengatakan padaku bahwa nama itu diambil dari Bahasa Tagalog, yang berarti madu. Aku pun tak tahu mengapa ayahku memberikan nama itu untukku. Mungkin dia sedang dimabuk asmara atau ingin membahagiakan wanita Philipina kesayangannya itu, hingga nama itu diberikan padaku saat aku lahir.”
“Biasanya nama seseorang bisa membawa nasib bagi penyandangnya. Namun, nama itu tak pernah melekat bersama nasibku. Tak kutemukan madu manis dalam hidupku. Dunia yang kualami penuh keanehan dan kepura-puraan,” lanjut Sang Badut sambil tertawa getir.
Pulot yang bertumbuh kerempeng dengan suara melengking melanjutkan pembicaraan.

“Setiap hari aku melakukan pertunjukkan, menghibur mereka yang kenyang. Itu kulakukan untuk menjaga perutku agar tidak keroncongan. Topenngku selalu tertawa tapi hatiku berkata lain.” Sang Badut berkata sambil menunduk. Dia seperti mencari kata-kata lain untuk disampaikan , tapi tak menemukannya.
Sang Penyair terdiam sejenak mendengar tuturan Pulot. Suasana menjadi hening beberapa lamanya, di antara keceriaan orang-orang di taman itu. Sang Penyair kemudian memecah keheningan: “Kau tahu Pulot, ratusan bahkan ribuan puisi telah kutulis. Itu pun hanya sebagai pelipur kesedihanku.”
Dia diam sejenak, kemudian melanjutkan: “Kau harus tahu, membuat puisi tidak seperti membuat roti yang hanya membutuhkan keahlian tangan si tukang roti. Dalam membuat puisi, diperlukan imajinasi dan keahlian estetik untuk mengekspresikan kata hati.”
Sang Badut mengangguk-angguk mendengar tutur kawannya. Entah dia mengerti atau hanya pura-pura mengerti. Mungkin dia sekedar menyenangkan hati Sang Penyair. Badut itu menatap ke depan. Pikirannya melayang jauh, mungkin memikirkan keluarganya di rumah. Lalu, dengan suara sedikit serak, perlahan, nyaris tak terdengar, Pulot berkata: “Sebenarnya aku bukanlah badut yang sejati.”
“Apa maksudmu, Pulot?”
“Di luar sana banyak badut yang jauh lebih lihai daripada aku. Mereka mahir memainkan karakter, mengatur irama tawa menjadi kesedihan yang palsu. Tapi tahukah kau, mereka hanya berpura-pura jujur di balik keserakahannya, berpura-pura papa namun tidur di atas harta yang berlimpah. Mereka tak peduli lawannya menderita atau mendekam di penjara. Ya, itulah badut-badut sejati yang hanya memikirkan kepentingan pribadi,” Pulot menarik napas panjang.

“Biasanya aku bisa membuat orang tertawa walau hatiku menangis. Yang kualami tentu berbeda dengan yang mereka alami. Mereka tak pernah memikirkan penderitaan orang bawah. Mereka mengubah aturan demi kepentingan keluarganya sendiri, menjilat yang di atas agar mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi pernahkah kau melihat seorang yang berprofesi badut seperti aku ini menjilat? Tidak akan!! Tak akan kau temui, karena badut adalah pekerjaan yang mulia. Tidak pernah ada badut yang merugikan uang negara. Badut seperti aku dan teman-temanku yang beraksi di panggung pertunjukan selalu menghibur, membuat penonton tertawa sampai keluar air mata. Tentu, airmata bahagia. Bukankah itu pekerjaan yang mulia? Membuat orang lain berbahagia?”
Sang Penyair merasa takjub mendengar kalimat-kalimat Pulot. Dia tak berkata apapun, hanya memandangi wajah Pulot yang sepertinya tak lucu lagi.
Seperti tak puas dengan orasinya, Pulot menyambung ucapannya yang sempat terhenti.

“Kawan penyair, pernahkah kau dengar badut panggung seperti aku berteriak lantang seperti mereka, seakan-akan hanya merekalah yang nasionalis tunggal di negeri ini, membela Pancasila? Tidak! Badut seperti aku hanya menghibur. Tak lebih dari itu. Yang kulakukan hanya menyambung hidup. Bukan menutup atau membegal hidup orang lain. Aku tidak pernah membunuh karakter lawan-lawanku, atau mengambil hak yang bukan hakku.”“Aku tak pernah berteriak-teriak mengaku sebagai nasionalis, layaknya nasionalis dadakan. Karena, nasionalis bagiku bukan ucapan tapi perbuatan. Aku pun tak pernah menutupi kekuranganku dengan mengenakan topeng yang lain. Karena, memang manusia tak luput dari kesalahan. Melakukan kesalahan itu sifat manusiawi. Kita kan bukan malaikat?”
Pulot menarik nafas sejenak, kemudian melanjutkan.

“Dulu aku pernah punya bos ketika bekerja sambilan. Bosku berwajah culun seperti orang yang tak punya dosa. Tapi tindakannya sangat otoriter. Bagiku dia penuh dengan kepura-puraan. Hipokrit!!”
Sang Penyair merasakan obrolan mereka mulai memanas. Dia berusaha menekan tensinya.
“Ya, kalau kupikir Pulot, kamu masih beruntung bisa cepat dapat uang, walaupun hanya cukup untuk makan. Tapi bagi orang seperti aku, perjuangannya lebih sulit. Masih banyak orang yang menganggap puisi hanya basa basi. Apalagi bagi para penjilat demi kepentingan pribadi. Hati mereka tentu sudah mengeras, dia seperti robot tak berhati. Hanya kepentingan sendiri yang dipikirkan. Lihatlah. Ucapan yang keluar dari mulut orang yang tak memegang uang dianggap sebagai ocehan orang edan. Tapi orang kaya, apapun yang diucapkannya dianggap sebagai sabda, walaupun kekayaannya dari hasil mencuri.”
Ternyata, bukannya meredakan tensi pembicaraan yang memanas, Sang Penyair terbawa suasana kemarahan dengan menceritakan kisah hidupnya yang tak jauh beda dengan Sang Badut.
“Inilah ketidakadilan itu. Kata-kata selalu dikebiri. Tapi aku tak peduli. Kutuangkan semua dalam puisi. Kata-kata itu ibarat ular berkepala sepuluh. Satu dipotong akan tumbuh yang lain. Jika kata sudah dilarang untuk disuarakan, maka kata akan beraksi dalam caranya yang lain. Kata seperti angin. Takkan mampu orang melenyapkannya. Dan, efek katapun bisa membesar seperti badai yang buas dan menggerakkan segalanya. Kata-kata bisa menjelma menjadi makhluk bernyawa.”
Pulot yang tak lagi lucu, emosinya mulai mereda. Diiringi gerimis menjelang petang, kedua orang sahabat itu bergegas pulang, sebelum badai yang sesungguhnya datang.

(2)

Sore berikutnya Pulot datang ke Taman Balai Kota mendahului Sang Penyair. Sambil duduk melepas lelah, mata Pulot memperhatikan sekelilingnya, orang-orang yang berlalu-lalang di Taman. Cukup lama Pulot duduk menunggu kawannya yang tak kunjung datang. Rasa jenuh lambat laun menghampiri. Secara tak sengaja Pulot melihat dua pasang burung prenjak yang berkejaran di dahan-dahan pohon, penuh kicau riang. Pulot mengamatinya. Sekejab kemudian, burung-burung itu menghilang di balik rerimbunan dedaunan.
Tak sabar menunggu lebih lama lagi, dibalut perasaan risau akan keadaan temannya, Pulot bergegas pulang dengan mengayuh sepedanya.
Keesokan harinya, Pulot kembali mendatangi tempat yang sama. Lagi-lagi, temannya tidak tampak batang hidungnya. Pada hari ketiga, betapa bahagia Sang Badut Pulot ketika dari kejauhan dia melihat Sang Penyair sudah duduk menunggu.
“Hai!” Pulot menyapa dengan nada gembira. “Dua hari kemarin kau tak nampak. Aku sempat mengkuatirkan dirimu.”
Sang Penyair memandangnya dengan wajah gembira, tanda senang bertemu sahabatnya.
“Benar Pulot. Dua hari batukku kambuh. Mungkin karena aku banyak mengisap rokok. Untunglah hari ini aku lumayan sehat. Bagaimana dengan pekerjaanmu, Pulot?”
“Sudah tiga hari ini aku hanya sekali memenuhi undangan seorang anak yang berulangtahun. Semakin berat rasanya pekerjaan saat ini. Mungkin di zaman seperti sekarang ini, anak-anak sudah tak memerlukan pertunjukan semacam badut. Karena badut sudah banyak menjelma di wajah orang-orang di sekitar mereka, anak-anak itu memerlukan jenis hiburan yang lain,” keluh Pulot.
“Hidup semakin sulit. Harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi, kondisinya semakin melilit dan mencekik leher,” lanjutnya.
Sang Penyair memandang Pulot dengan wajah memelas. “Ya, akupun mengalaminya, Pulot. Dua hari yang lalu ada seorang tetangga meninggal dunia. Aku menyesal tak sempat hadir di acara pemakamannya, karena kesehatanku tak mendukung,” tuturnya. Pulot mendengar cerita duka dari Sang Penyair dengan sungguh-sungguh.
“Dia meninggal karena apa?” tanya Pulot.
“Mungkin rasa kecewa yang begitu dalam terhadap kondisi bangsa dan nasib hidupnya, sehingga mengguncang jiwanya dengan cukup keras. Dia sempat dipenjarakan oleh atasannya karena kritik yang dilayangkannya pada atasan. Dia dikenai pasal undang-undang yang baru tentang larangan mengkritik atasan. Akibat kritikan itu, dia mendekam dua tahun di balik jeruji penjara. Kritik bagi para bos adalah momok bagi para orang upahan.”
Setelah berhenti sejenak, Pulot melanjutkan ceritanya.
“Seorang teman pernah mengajarkan padaku, Pulot. Dia mengatakan bumbui kata-katamu dengan gula jika kau berbicara atau membuat tulisan, karena mereka senang akan sesuatu yang manis. Mereka suka kata yang menghibur dan terdengar merdu di telinga, meskipun tak sesuai dengan kenyataan. Ini membuat atasan kita gembira, berbunga-bunga hatinya, tersenyum wajahnya. Ini adalah semacam tiket untuk mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan. Tapi jujur Pulot, sebagai penyair aku menolak saran itu, karena dasar dari kepenyairanku adalah kejujuran dan kebebasan. Seoarang penyair sejati tak bisa dikekang, apalagi diatur menurut pesanan. Di situlah nilai moral seorang penyair. Dan sifat dasarku bukanlah seorang penjilat. Puisi-puisiku lahir dari perenungan-perenunganku, tak bisa dibeli atau dipesan. Aku merasa bangga atas kemerdekaan jiwaku walaupun tak ada uang di saku. Uang memang bisa membeli segalanya, tapi tak mungkin membeli kebebasanku untuk bersuara.”

Pulot terlihat gembira mendengar cerita Sang Penyair yang penuh harga diri.
“Ya, ya, aku sangat setuju,” kata Badut Pulot yang perutnya mulai merasa lapar. Sambil mengangguk-angguk, dia melanjutkan bicara. “Hukum saat ini terasa aneh. Hukum seperti makanan siap saji yang melayani orang-orang yang membeli. Mereka tinggal memesan yang manis, yang pedas, atau yang sedikit garam. Seperti kejadian kemarin yang kubaca di koran milik seorang teman. Ada seorang wanita yang dibacok tangannya hingga putus. Ternyata sang pembacok adalah orang bayaran, atas perintah istri seorang bos yang merasa cemburu karena wanita itu adalah simpanan suaminya. Tapi anehnya, putusan pengadilan hanya menjatuhkan vonis beberapa bulan untuk sang pembacok. Alasannya, sang pembacok tidak sengaja melakukan pembacokan itu, karena niat awalnya hanya menakuti si wanita itu saja. Ya, untung saja wanita itu tidak meninggal walau kehilangan salah satu tangannya.”
“Memang hukum jadi aneh sekarang ini, Pulot,”kata Sang Penyair.
Mereka berdua terdiam sejenak. Kemudian Sang Penyair kembali memecah kesunyian: “Pulot, apakah kau mendengar berita tentang wabah yang lagi ramai?”
“Ya, aku dengar pagi tadi dari siaran TV,” jawab Pulot.
“Sebenarnya wabah ini dari negeri yang jauh,” kata Sang Penyair. “Tapi sangat cepat menyebarnya. Bagai hantu tak terlihat, tapi merenggut banyak nyawa. Kita harus hati-hati, Pulot. Ini sangat menakutkan.”
Badut Pulot mendengarkan dengan seksama, mimik wajahnya tampak sangat ketakutan. Ada sebersit rasa ngeri di situ. Dia berpikir sejenak, kemudian berbicara dengan perasaan hati yang tak menentu.
“Tadi ada teman badut yang mengatakan bahwa wabah ini awalnya ditularkan oleh orang miskin. Kata-kata itu terngiang terus di telingaku. Inilah yang membuatku sedih.”
“Ah, tidaklah,” kata Sang Penyair. “Orang miskin selalu menjadi kambing hitam. Sperti kau dan aku. Dan tak sedikit kesalahan yang dilabelkan pada kita. Aku teringat kata-kata seorang bijak. ‘Seorang miskin akan terasa asing walau tinggal di negerinya sendiri’.”
Pulot tampak sedikit terhibur mendengar tuturan Sang Penyair. Tak lama kemudian kedua sahabat ini berpamitan dan berpisah di ujung sore, diiringi semburat warna jingga dari sinar matahari yang mulai redup.

(3)

Berita wabah menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan begitu cepatnya, seperti pewarna yang dicelupkan ke dalam air bersih, larut tak meninggalkan bekas. Beberapa orang mulai berhati-hati, yang lain ada yang tak takut mati dan tak mau keluar rumah. Sebagian lagi masih merasa tenang, seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Seperti biasa, Pulot selalu mengunjungi teman ngobrolnya. Lama Pulot menunggu di bangku batu di Taman Balai Kota, tempat dia biasa duduk bersama temannya. Kali ini pengunjung taman tak seramai hari-hari biasa. Suasana lebih lengang. Dari tempatnya duduk, di kejauhan Pulot melihat beberapa kali mobil ambuance lewat meraung-raung memilukan. Lama Sang Penyair tak kunjung datang dan Pulot pun memutuskan untuk bergegas pulang.
Begitu pula hari berikutnya dan berikutnya lagi. Sampai hari kelima Pulot duduk di taman yang sepi sambil merenung tentang nasib sahabatnya. Pulot mempunyai firasat bahwa temannya telah mendahuluinya untuk melakukan perjalanan abadinya.
Di hari-hari berikutnya Pulot tetap mengunjungi taman tempat mereka rendevouz dengan harapan bisa menjumai sahabatnya. Namun harapannya ternyata sia-sia. Di hari kesembilan, Pulot melewati taman itu kembali, tapi taman itu sudah dilingkari garis polisi berwarna kuning. Pulot tertegun, tak bisa berbuat apapun.
Wabah kini sudah merajalela menghantui seluruh penduduk kota. Banyak toko tutup, hanya sebagian kecil yang masih buka. Itupun sepi karena orang takut untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan yang sangat penting. Sebagian orang menyerbu toko yang buka, yang berjualan kebutuhan pokok dan obat-obatan. Rupanya wabah ini telah mengubah keiginan-keinginan duniawi manusia menjadi hanya pemenuhan kebutuhan hidup yang utama.
Awan hitam mulai menggantung di atas kota, seperti memberi tanda bahwa badai yang besar akan melanda. Di bawah awan-awan hitam itu, orang-orang mulai merasa ketakutan. Sebagian takut kehabisan bahan pangan, sebagian lagi takut pamornya pudar lalu hilang ditelan zaman. Ini golongan yang merasa gagal membendung wabah yang bergerak cepat seperti kanker ganas di stadium empat.
Ada juga yang muncul di beberapa media ulasan tentang pahlawan-pahlawan baru dengan teori-teori yang terkadang aneh dan lucu. Tapi ada juga teori mereka yang masuk akal, sehingga orang menerimanya dan tak satupun yang menyangkal.
Badai wabah itu luar biasa cepat sekali memasuki segala lini masyarakat kota, mengubah segala sesuatunya. Aktivitas rutin kehidupan serasa berhenti dan Pulot bergerak pergi. Pupus sudah harapannya berjumpa lagi dengan sahabatnya, Sang Penyair.

(4)

Hari berganti minggu dan minggu pun tergantikan bulan, wabah tak kunjung reda, malah semakin mengganas dan korban makin banyak berjatuhan. Peraturan-peraturan baru beserta larangan-larangannya bermunculan. Jam malam pun mulai diberlakukan.
Hari ini udara kota cerah. Polusi udara jauh berkurang, karena tak banyak kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Kota juga terasa lengang, banyak aktivitas terhenti total, sebagian masih beraktivitas setengah hari. Sekolah-sekolahpun diliburkan. Terlihat satu dua orang yang berjalan dengan mengenakan masker di wajahnya untuk melindungi diri dari virus yang mungkin masuk melalui pernafasan. Wajah-wajah mereka menjadi tak mudah dikenali.

Dengan wajah murung Pulot mengayuh sepedanya, mencari keberuntungan yang semakin menjauh darinya. Selama wabah melanda kotanya, tak ada lagi pesta-pesta ulang tahun yang melibatkan dirinya atau memerlukan keahliannya. Ini tentu tak lepas dari adanya larangan berkumpul lebih dari tiga orang. Dampaknya jelas bagi Pulot, tak ada pemasukan untuk biaya hidupnya sehari-hari. Dia mulai melirik jenis pekerjaan yang lain. Kadang-kadang dia menjadi kuli yang mengangkat puing-puing dari reruntuhan bangunan. Kadang kembali ke profesi semula, menjadi badut, namun tidak di pesta-pesta ulang tahun, melainkan di pertigaan jalan atau perempatan lampu merah. Dia menghibur para pemakai jalan, kadang hingga sore hari dia baru pulang.
Seperti biasanya Pulot mampir di kedai penjual makanan. Di kedai itu orang-orang yang membeli makanan taat antre sambil menjaga jarak. Sebagian lagi berada di samping kedai. Mereka berbicara dengan setengah berbisik. Topik pembicaraan mereka sekitar kondisi wabah dan keluhan-keluhan hidup yang semakin tak menentu dan tak bersahabat.
Sepintas Pulot mendengar pembicaraan mereka. Ada satu topik yang menarik perhatian Pulot, yaitu mengenai usulan dari seorang yang mengaku bijak. Orang ini hidup sangat layak. Tubuhnya pasti wangi oleh aroma parfum yang dipakainya, yang harganya tentu jauh lebih mahal daripada harga sepeda Pulot. Orang bijak ini berencana menjadikan sepeda sebagai obyek dalam penarikan pajak negara. Hati Sang Badut semakin kecut, sedikit bingung karena baginya sepeda adalah harta kekayaan satu-satunya yang dimilikinya. Sepeda adalah kaki kedua baginya. Kini sepeda itu akan dikenai pajak? Rasa laparnya mendadak hilang, tersapu rasa kecewa yang dalam. Setelah mendengar pembicaraan orang-orang di samping kedai, Pulot teringat akan sahabatnya Sang Penyair yang lama tiada. Biasanya dia selalu menghiburnya di kala hatinya gundah gulana. Kata-kata Sang Penyair terngiang di dalam benak Pulot, tentang ucapan seorang bijak. “Orang miskin akan merasa asing walau tinggal di negerinya sendiri.” Inilah yang dirasakan Pulot saat ini. Rasa kangen Pulot akan teman penyairnya datang kembali, bersama rasa sedih bercampur getir.
Pulot terus mempercepat laju sepedanya untuk menghilangkan kenangan yang tiba-tiba datang. Dia mengayuh terus dan terus melalui lorong-lorong jalanan kota. Awan berwarna merah terkena pantulan sinar matahari senja dari arah barat perlahan-lahan menghitam dan kota pun menjadi gelap. Kota terasa mencekam, jauh dari harapan yang selalu diimpikannya.

_"Hatinya membisu sedikit resah
Memikirkan temannya yang tiada
Di sela-sela datangnya wabah
Berharap nasib berbalik berubah
Sang Badut terus mengayuh sepeda
Pulang atau entah kemana. "_

Surabaya, 11 Juni 2020

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id