Akademi Seni Rupa Surabaya (AKSERA) yang didirikan pada 1967 oleh beberapa seniman Surabaya.
Akademi ini diprakarsai sejumlah seniman Surabaya. Tercatat nama-nama pendiri AKSERA yaitu Gatot Kusumo, Krishna Mustadjab, M. Ruslan, Amang Rahman, D. Subali, M. Daryono, Suhardi, dan Thea Kusumo.
Akademi ini bertujuan mendidik calon-calon seniman dalam wadah pendidikan formal. Walaupun bentuknya akademi, tetapi ada kurikulum yang di dalamnya terdapat sejumlah mata kuliah dengan sistem pengajaran yang menyerupai kegiatan sanggar.
Sayang, akademi ini hanya bertahan sampai enam angkatan. Namun, dari enam angkatan ini telah melahirkan pelukis-pelukis Surabaya seperti Nuzurlis Koto, Nunung WS, Makhfoed, Serudi Sera, dan lain-lain. Mereka inilah yang kemudian mewarnai praktik seni rupa di Kota Surabaya dalam dekade '1970-1980-an.
Sebenarnya ide pendirian AKSERA muncul pada 1966. Tetapi realisasinya baru pada 1967. Gagasan ini didukung oleh Wali Kota Surabaya Soekotjo.
AKSERA sesunggunya lebih mirip kawah candradimuka yang menggodog calon-calon seniman dengan berbagai kurikulum seni rupa yang diajarkan.
Pelajaran drawing dan sketsa menjadi tekanan utama pelajaran sehari-hari. Juga desain dasar (basic design) perlu dikuasai oleh para mahasiswa.
Angkatan pertama AKSERA 1967 merupakan angkatan dengan jumlah peminat terbanyak yaitu 105 orang. Pada angkatan kedua tahun 1968 jumlah peminatnya menurun di bawah 50 orang.
Ketika Kota Surabaya menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) VII tahun 1969, AKSERA berkontribusi dalam keterlibatannya sebagai Seksi Penerangan dalam pembuatan poster, spanduk dan baliho. Semua ini tidak terlepas dari jasa Acub Zainal dan Sugiono dengan Gatot Kusumo.
Salah seorang dosen AKSERA yang terkenal yaitu Gatot Kusumo dikenal sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia, budayawan, dan sutradara film yang sehari-hari mengajar Filsafat Seni. Ia berhasil membentuk kepribadian dan etos kerja kesenimanan mahasiswa AKSERA.
Kata-kata yang selalu memprovokasi mahasiswanya yaitu _"be yourself"_. Kredo ini mengandung makna yang dalam. Yakni: "Jadilah dirimu sendiri, jangan meniru karya orang lain".
Maka, berpegang teguh pada kredo itu, secara konsekuen banyak pelukis AKSERA menciptakan karya-karya yang bersifat personal dan mengungkapkan jati diri masing-masing.
AKSERA ditutup pada 1974. Dikarenakan gagal memenuhi syarat sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi versi Depdikbud karena tidak memiliki fasilitas gedung dan perangkat keras yang lainya.
Tetapi justru pada 2013 AKSERA memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai "Pengabdi Dalam Dunia Pendidikan Seni"
AKSERA memang tidak berumur panjang. Bahkan relatif sangat pendek. Tetapi gaungnya melahirkan pelukis-pelukis Surabaya yang potensial dalam mengisi kehidupan perkembangan seni lukis modern Indonesia.
Andaikata AKSERA masih ada dan berfungsi seperti yang diharapkan sebagai Perguruan Tinggi Seni Rupa, tentu kita akan lebih berharap banyak akan sumbangsihnya bagi laju kembangnya seni rupa di Surabaya.
Kendati pun AKSERA kini sudah menjadi penggalan sejarah, tapi 'ruh'-nya masih hidup dalam bentuk sanggar di bawah Yayasan Pengembangan Seni Rupa AKSERA.
_Dicukil dari buku "Akademi Seni Rupa Surabaya dalam Sejarah dan Dinamika" karya Hamid Nabhan_
Social Header