Breaking News

Puisi Pohon Hamid Nabhan

 


Oleh: Prof. Jakob Sumardjo

Hamid Nabhan adalah seorang pelukis, spesialis lukisan pemandangan alam Indonesia, khususnya Madura dan pulau Jawa. Hamid Nabhan juga seorang penyair yang telah menulis sekitar 50 sajak yang juga mengambil obyek alam. Pelukis yang juga penyair di Indonesia tidak banyak, antara lain Jeihan Sukmantoro yang bermukim di Bandung. Pelukis Jeihan telah melukis ribuan karya, terutama sosok manusia, yang kebanyakan perempuan, tetapi hanya menulis beberapa puisi juga.
Pada dasarnya seni adalah bahasa rasa. Ia memberikan pengalaman inderawi yang menggerakkan perasaan, pikiran, intuisi, pada publik seninya. Tetapi realitas dalam seni berbeda dengan pengalam realitas empiric sehari-hari, meskipun realitas seni bersumber pada relitas empirik. Realitas pengalaman seni berkualitas imajiner yang dibangun atau dikonstruksi oleh seniman dengan pemikiran dan maksud tertentu.
Hubungan realitas pengalaman seni dengan pengalaman sehari-hari adalah adanya pengintian realitas sehari-hari dalam karya seni. Sastrawan Anton Chekov pernah menggambarkannya dengan ungkapan bahwa karya seni adalah refleksi bulan pada sebuah botol minuman. Gambar bulan bulat bercahaya terang di badan botol adalah bulan yang sesungguhnya. Dengan demikian karya seni bukan hanya ekspresi perasaan, tetapi juga ekspresi pikiran. Bagaimana Anda menggambarkan esensi realitas dalam karya seni Anda. Bagaimana jagad besar realitas dapat diintisarikan dalam jagad kecil karya seni.
Diberitakan bagaimana Rendra ketika di Amerika memerankan tokoh penjahat gangster yang amat cerdas, teliti, dan amat berhati-hati melakukan tindak kejahatan hanya dengan menjentikkan jarinya pada jasnya yang apik dan parlente untuk menyingkirkan kotoran kecil (debu rokok?) dari jasnya tersebut. Acting yang amat sederhana ini mampu menggambarkan watak penjahat yang cerdas, berpengalaman, dan selalu tampil “bersih” dalam bisnis kejahatan gangster. Itulah karya seni.
Dalam buku Pohon Sunyi: Antologi Puisi Bumi oleh Hamid Nabhan, yang ditulis oleh Fanny J. Poyk dan diberi pengantar oleh Gerson Poyk (Nabhan Galeri, 2015), Gerson Poyk memilih puisinya untuk diulas sebagai pengantarnya, yakni “Tujuh Ribu Rimba”. Pengantar berbentuk puisi ini berhasil mengintikan gagasannya bagaimana Nusantara ini dapat “menyimpan dam dam embun” dan “seribu Borneo meredam Bah” kalau warisan alam raya kita ini tetap terpelihara.
Sebagian besar puisi Hamid Nabhan dalam bukunya ini mengungkapkan gagasan keprihatinannya pada gejala perusakan alam, terutama oleh Negara, yang mengancam kehidupan masa depan bangsa. Inilah salah satunya:

POHON SUNYI 2

Di negeri ini
Pohon-pohon tak lagi berdaun
Kamipun tak lagi berlindung
Rumput-rumput tak lagi berembun

Butir keringat
Menjelma menjadi benih
Yang bersemayam
Di Rahim sunyi

Puisi di bawah ini lebih jelas alamat perusakan alam:

JIKA PENEBANGAN TIDAK DIHENTIKAN

Orang bijak berpendapat
bumi yang hijau tak lama lagi
akan berubah kerontang
jika penebangan hutan
tak segera dihentikan

Puisi Hamid Nabhan menggambarkan realitas sehari-hari sebagaimana adanya. Pengintiannya tidak berwujud gambar pengalaman indrawi, tetapi lebih pada buah pemikirannya. Realitas jagad besar ini (kerusakan hutan) digambarkan dalam bentuk jagad besar juga. Pengalaman kerusakan jagad besar dapat diintisarikan dalam pengalaman jagad kecil puisi. Boris Pasternak menggambarkan kemiskinan rakyat Rusia dalam Revolusi 1917 dengan menggambarkan tokoh utamanya Dokter Zhivago membongkar pintu toko yang ditinggalkan pemiliknya, untuk kayu bakar di rumah kostnya. Gambaran inderawi sepele ini dapat dialami dan dirasakan pembacanya untuk merasakan penderitaan kemiskinan seluruh rakyat Rusia pada waktu itu.
Salah satu puisi Hamid yang mendekati kualitas semacam itu adalah puisi “Di Sini Akan Dibangun Plaza”:

DI SINI AKAN DIBANGUN PLAZA

Di malam hari
Burung-burung lelah bermimpi
Terbang di atas pohon rindang

Ketika angin pagi
Berhembus membangunkan
Di hadapannya menghampar tanah rata
Di sana tertulis sebaris kata
Di sini akan dibangun plaza

Bangunan pengalaman imajinatif ini jelas pada sekelompok burung, yang tidak digambarkan ada dimana, namun peristiwanya jelas, yakni mimpi berada di pepohonan rindang, tapi bangun subuhnya menghadapi realitas sebaliknya, yakni tanah rata yang akan dibangun plaza. Jadi puisi ini juga lebih mengacu pada inti gagasannya, namun kurang diwujudkan dalam peristiwa menginti dalam seni.
Saya menduga Hamid Nabhan lebih dahulu seorang pelukis, baru kemudian berpuisi. Lukisan-lukisan alamnya amat berpengaruh pada puisinya. Lukisan-lukisan alam Hamid Nabhan justru bernilai puitik. Ia menggambarkan inti alam makro dalam alam mikro lukisannya, tetapi juga arti lebih, yakni cara dia menggambarkan pohon-pohon kering di tengah pohon-pohon hijau, ibarat orang-orang miskin atau sekarat yang meminta keadilan ke langit akan nasib buruknya diciptakan sebagai pohon semacam itu. Lukisan Hamid semacam itu justru berkualitas puisi.
Lukisan-lukisan lanskap Hamid Nabhan, sebagai realitas mikro, sebagai jagad kecil seni, dapat kita alami sebagai refleksi alam yang sesungguhnya yang begitu luas seolah tanpa batas. Alam makro sebagai realitas empirik sehari-hari itu dia ringkas dan distruktur dalam bentuk sangat terbatas, namun mampu memberikan pengalaman jagad besar yang sesungguhnya.
Ada sebuah puisi Jerman yang saya lupa penyair dan karyanya, tetapi ketika saya baca terjemahannya di masa remaja, memberi pengalaman dan pemahaman mendalam pada saya sampai usia tua ini. Puisi itu menggambarkan betapa mulianya sebuah pohon yang disinari matahari pagi. Sebelum membaca puisi itu saya melihat semua pohon sama saja dengan pohon lain, yakni tak punya makna apa pun. Setelah membaca puisi itu saya mulai bersikap lain ketika melihat sebatang pohon, yakni ada kekuatan gaib yang muncul dari pohon itu yang membuat hidup ini semakin indah dan bermakna dengan tumbuhnya pohon-pohon.
Dunia modern semakin jauh dari alam, bahkan alam dirusak demi teknologi, sehingga pohon-pohon tak punya makna lagi dalam hidup di dunia ini. Inti gambaran demikian ditunjukkan oleh puisi Hamid Nabhan yang dikutip di atas, “Di Sini akan Dibangun Plaza”. Lukisan-lukisan alam Hamid Nabhan mengandung kualitas puitik. Kita mengalami inti alam makro, alam yang sesungguhnya, dalam dunia yang mengandung pengintian realitas sesungguhnya. Melihat lukisan-lukisan alam Hamid Nabhan kita mengenali inti gagasannya. Itulah sebabnya seluruh ilustrasi buku puisinya berwujud sama, yakni pohon-pohon dengan batang-batang besar, tetapi kering dahan dan rantingnya, meskipun tumbuh di tanah hijau subur maupun di hamparan tanah kering.
Buku puisi Hamid Nbhan (Pohon Sunyi) diisi dengan 25 ilustrasi berwarna (lukisan) dengan pola yang sama. Ia memisahkan bidang untuk langit di bagian atas, dan bumi di bagian bawah. Di tengah-tengah langit dan bimi terdapat pohon-pohon dengan batang-batang yang amat mencolok besarnya, rata-rata berwarna coklat tua dan muda, yang kadang-kadang ada sosok manusia di samping batang-batang pohon tadi. Batang-batang pohon meranggas itu hanya ditumbuhi cabang dan ranting-ranting kecil tak berdaun (kover buku ini).
Pohon-pohon dengan batang-batang besar tadi adalah pohon-pohon di hutan yang tumbuh gundul, artinya pohon-pohon mati. Bagian bawah, bumi, tidak selalu semak atau ilalang yang menguning, tetapi ada juga tanah subur yang hijau, itulah tanah air kita yang bermacam ragam kondisi tanahnya. Itulah symbol dari matinya pohon-pohon raksasa alias hutan rimba kita yang mulai gundul dan mati. Semua ilustrasi buku puisi ini berpola sama seperti itu.
Gambar pohon berbatang besar tetapi cabang dn rantingnya sama sekali tidak berdaun, sering kita jumpai dalam lukisan-lukisan Eropa yang menggambarkan musim gugur. Karena Indonesia tidak memiliki 4 musim seperti Eropa, maka pohon gundul tanpa daun di tanah subur maupun kering dapat dibaca pohon-pohon raksasa (hutan) baik di musim kemarau maupun musim hujan. Semua itu menggambarkan keserakahan negara dalam membabat hutannya sepanjang tahun. Pohon-pohon mati itu tinggal ditebang saja.
Protes terasa Hamid dalam puisi dan ilustrasinya itu, dalam menggundulkan rimba raya kita, menunjukkan kebodohan Negara atau keserakahan oknum-oknum penguasanya dalam cara bagaimana hutan rimba dengan cepat mendatangkan uang. Kearifan lokal suku-suku Indonesia senantiasa memelihara hutan, baik bagi pertanian sawah atau ladangnya, atau mereka yang mengandalkan produk tanaman hutan itu sendiri. Sedang pada masyarakat yang hidup dalam hutan mengandalkan hasil hutan itu sendiri dengan mengambil getahnya, kulit pohonnya, biji-biji buahnya, bahkan juga serangga, ulat, dan satwa serta hewan-hewan yang hanya dapat hidup selama hutan tetap ada.
Bangsa-bangsa asing datang ke Nusantasa hanya untuk membeli hasil-hasil hutan semacam itu. Negara tak pernah berpikir semacam itu. Mereka hanya tahu bahwa komoditi alam yang cepat laku dijual di dunia adalah batang-batang besar tadi. Penebangan hutan paling ganas terjadi setelah Orde Baru sampai masa Reformasi ini. Itulah keprihatinan pelukis dan penyair ini tentang pohon-pohon dan hutan Indonesia sekarang ini.
Sebagai Sarjana Ilmu Pertanian, Hamid Nabhan tentu memiliki latar pengetahuan semacam itu ketika keprihatinannya dituangkan dalam lukisan-lukisan kontrasnya dan puisi-puisi gagasannya. Kapur barus, kemenyan, kayu cendana, minyak kayu putih, cengkih, pala, getah karet rakyat, semua berasal dari keberadaan hutan. Orang-orang Mesir kuno, Kekaisaran China, rajin menjalin hubungan dengan rakyat Nusantara, karena hasil hutan rimbanya yang masih perawan itu. Dan lukisan-lukisan Hamid bukan alam perawan, tetapi alam yang menjelang ajalnya.
Beberapa ilustrasi buku puisi (buku puisi Pohon Sunyi) memasang gambar matahari merah tua di langit, baik di atas pohon maupun di tengah-tengah cabang dan rantingnya yang kering. Matahari merah adalah matahari senja di sebelah barat simbol kematian apapun yang hidup, baik alam, manusia, hewan, bahkan negara.
Puisi Hamid Nabhan yang sejati ada pada karya seni rupanya.

Bandung, Oktober 2018

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id