Cerpen Oleh: Hamid Nabhan
Betapa mimpi sudah menjadi ancaman,
Betapa rapuhnya sebuah kedudukan._
(Hamid Nabhan)
Reha, seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan, berperawakan sedang, hendak pulang dari tempat kerjanya di sebuah pabrik furniture. Dia salah seorang buruh tukang kayu di pabrik itu. Hari ini tak seperti biasanya dia pulang agak malam. Rupanya banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya menjelang akhir tahun, sehingga memaksanya lembur. Dia bergegas menuju rumahnya dalam keadaan letih, membayangkan peraduan hangat dan nyaman.
Setibanya di rumah, tanpa berganti pakaian dia langsung menuju meja makan dan menyantap makan malam yang sudah disiapkan oleh sang istri. Tanpa banyak bicara, Reha melahap hidangan di meja, disaksikan istrinya yang juga tampak kelelahan.
Usai makan malam, Reha menuju sofa yang biasa dipakai anak-anaknya saat menonton televisi di sela-sela waktu belajar, Reha memiliki dua anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Tadi Reha membawa majalah yang dia pinjam dari rekan kerjanya di pabrik. Kini Reha mulai membuka halaman demi halaman majalah hiburan itu sambil rebahan di sofa.
Karena lelah seharian bekerja dan perut dalam keadaan kenyang, rasa kantuk mulai menyerang. Tak lama kemudian Reha pun tertidur pulas. Reha memiliki kebiasaan mendengkur bila tidur nyenyak. Tak lama kemudian mimpipun mendatangi sebagai bunga tidurnya.
Dalam mimpi itu Reha seperti sedang naik seekor gajah Afrika yang sangat besar. Gajahnya dihiasi bunga beraneka warna. Gajah berhiaskan bunga-bunga dengan Reha di punggungnya berkeliling di jalanan kota. Tentu, banyak orang menyaksikan Reha dan gajahnya yang memiliki gading panjang, besar, dan indah. Mereka berdecak kagum sambil melambaikan tangan kepada Reha. Reha pun dengan penuh semangat menyambut lambaian tangan mereka.
Reha menengok ke belakang. Ternyata banyak pula orang yang mengikuti dia dan gajahnya. Dia juga melihat, di setiap sudut jalan yang dilaluinya, dipenuhi dengan bunga-bunga.
Saat Reha terbangun, keringat membasahi bajunya, baju yang dipakainya bekerja di pabrik. Rupanya semalam dia belum sempat berganti pakaian, usai makan langsung tidur. Reha termenung memikirkan makna mimpinya yang tidak lazim. Belum pernah dia bermimpi, dimana dia merasa seanggun itu, menunggangi gajah besar penuh bunga, dielu-elukan penduduk kota di sepanjang jalan. Dia serius memikirkan apa arti mimp itu. Dia sangat penasaran, “Ini bukan mimpi biasa. Pasti ini mengandung makna yang istimewa,” pikirnya. Reha teringat seseorang di dekat rumahnya yang dikenal pandai menafsirkan mimpi.
Keesokan harinya, untuk mengalahkan keraguannya, Reha memberanikan diri pergi ke rumah Pak Panjang, nama orang yang dikenal dapat menafsirkan mimpi. Kepada Pak Panjang, diceritakanlah mimpi yang dialaminya semalam.
Pak Panjang bertubuh tinggi dan kelihatannya agak pendiam. Dengan sabar dia mendengarkan Reha bercerita mengenai mimpinya. Setelah Reha selesai bercerita, tampak wajah Pak Panjang berubah, seperti terkejut dan bahkan agak memucat. Dengan suara perlahan dan berhati-hati, dia menanyakan lagi beberapa hal untuk lebih meyakinkan drinya.
“Reha, apakah benar mimpi yang kau ceritakan itu adalah mimpimu sendiri?”
“Ya, tentu saja mimpiku sendiri, Pak Panjang.” Reha heran atas pertanyaan itu. Pak Panjang terdiam. Dia termenung, seperti berpikir, beberapa saat. Lalu, dengan suara berat dia minta maaf kepada Reha. Permintaam maaf itu diulanginya lagi.
“Maaf, aku tidak berani menafsirkan arti mimpimu. Dengan segala hormat, sudilah engkau meninggalkan tempat ini. Pergilah ke orang lain yang sanggup menakwilkan mimpimu itu,” ujarnya.
Reha tercenung. Pikirannya menjadi bingung dan rasa ingin tahunya semakin memuncak. Reha kemudian pamit dan berjalan meninggalkan rumah Pak Panjang. Hatinya bertanya-tanya, mengapa Pak Panjang tak berani menakwilkan arti mimpinya. Dalam keadaan bingung dan dibalut rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya, Reha teringat sesuatu. Dulu, rekan-rekannya di pabrik pernah bercerita tentang seorang yang sangat pandai menakwilkan mimpi. Orang ini lumpuh kedua kakinya.
Diingat-ingatnya nama orang tersebut, karena pembicaraan dengan rekan kerjanya itu sudah lama sekali. “Ya, ya, aku ingat sekarang. Kudu nama orang itu,” pikirnya. Sedikit rasa lega muncul di hatinya. Seingat dia, rumah Pak Kudu ada di dekat terminal kota, agak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi rasa penasaran akan arti mimpinya mengalahkan rasa malasnya. Dia pun berangkat menuju rumah Pak Kudu.
Setelah bertanya-tanya di sekitar terminal kota, sampailah Reha di depan rumah Pak Kudu. Diketuk pintunya. Tak lama kemudian pintu dibuka oleh seorang perempuan berwajah agak pucat, mengenakan jilbab.
“Maaf, Bu, apakah ini rumah Pak Kudu?” tanya Reha dengan sopan. “Benar, kata perempuan itu.
“Bisakah saya menemui Pak Kudu?”
Tanpa banyak bicara, perempuan itu membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Reha untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
Rumah Pak Kudu kecil, dan ruang tamunya sangat sempit. Tapi, semua tampak tertata rapi. Di dindingnya dihiasi beberapa bingkai foto. Reha bisa melihat, ada foto keluarga, maupun foto Pak Kudu bersama pejabat atau orang terkenal. Rupanya reputasi Pak Kudu sebagai menafsir mimpi sudah tak diragukan lagi.
Tak lama Reha menunggu, keluarlah Pak Kudu dalam kursi rodanya, didorong oleh perempuan yang membuka pintu tadi. Pak Kudu memang lumpuh kedua kakinya. Setelah saling berkenalan, Reha tahu bahwa perempuan itu saudara Pak Kudu, bukan istrinya.
Setelah memperkenalkan diri, Reha pun menjelaskan maksud kedatangannya. Dia menceritakan mimpinya kepada Pak Kudu. Pak Kudu menyimak penjelasannya dalam diam. Di raut wajahnya terbaca rasa kekaguman yang tak bisa dia tutupi. Kemudian dia berbicara: “Reha, apakah benar itu mimpimu?”
“Ya, Pak Kudu, benar. Mimpi inilah yang mengantarkan aku sampai di sini. Karena rasa ingin tahu yang besar, aku ingin menanyakan arti mimpiku yang tak lazim itu pada bapak.” Pak Kudu menatap tajam Reha dan melanjutkan bicaranya: “Ketahuilah, memang mimpimu bukan mimpi biasa.”
Mendengar tanggapan itu dari ahlinya, jantung Reha berdegub agak keras.
“Engkau tahu arti mimpi itu? Saya beri tahu ya. Nanti akan tiba saatnya engkau akan menjadi pemimpin di negeri ini.”
Reha terperanjat mendengar keterangan Pak Kudu tersebut. Jantungnya seakan berhenti berdenyut.
“Tapi ingat!” Pak Kudu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Sebaiknya engkau tidak menceritakan mimpimu ini kepada siapapun, agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak kau inginkan.”itulah kalimat terakhir Pak Kudu yang diingatnya.
Dengan diliputi rasa takjub dan tak menentu, Reha pamit pulang. Rupanya saudara perempuan Pak Kudu sempat mendengarkan penuturan tafsir mimpi tersebut. Dia menegur Pak Kudu: “Mengapa engkau menafsirkan mimpinya seperti itu? Engkau cukup mengatakan arti mimpi itu semacam keberuntungan, seperti kenaikan jabatan atau sejenisnya.”
Pak Kudu menatap wajah saudara perempuannya. Dengan nada sungguh-sungguh dia menjelaskan bahwa dia bersumpah bahwa itulah takwil mimpi yang sebenarnya. “Aku tidak berbohong dan aku memang tidak biasa berbohong, karena berbohong adalah pintu menuju kejahatan yang lain.”
Tak berlangsung lama, kabar tentang mimpi Reha mulai tersebar. Dari bisik-bisik antar tetangga, mungkin dari istrinya, kisah itu menyebar seantero kota. Benar kata orang, dinding pun mempunyai telinga. Maka, mimpi Reha menjadi perbincangan orang-orang di seluruh negeri. Hingga sampailah mimpi Reha ke telinga penguasa. Ya, tentu melalui para pembisiknya.
Penguasa merasa tersinggung dan gusar mendengar cerita mimpi Reha. Hal itu dianggap semacam ramalan yang dapat menggagalkan ambisinya. Dia tengah mengupayakan anaknya untuk mengambil posisi sebagai penggantinya kelak. Agar rencana untuk anak yang telah digadang-gadangnya sejak dia memimpin negeri ini tidak gagal, ditugaskannyalah orang-orang untuk menangkap dan menahan Reha.
Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar bahwa Reha berhasil diciduk petugas pada suatu malam, di sebuah warung kopi di dekat rumahnya. Saat itu dia sedang asyik menikmati kopi sambil merokok. Suasana warung kebetulan sepi. Menurut saksi mata yang takut disebutkan namanya, Reha dipepet petugas di kanan dan kiri tempat duduknya. Ada pembicaraan beberapa detik yang tak begitu jelas, kemudian semuanya berdiri dan Reha digiring memasuki mobil petugas, meninggalkan tempat itu.
Reha tak berdaya, rasa ketakutan menyelimuti dirinya. Dalam perjalanan, yang diingatnya hanyalah istri dan anak-anaknya, serta rumahnya yang sederhana namun nyaman.
Kampung tempat keluarga Reha tinggal geger mendengar kabar diciduknya Reha. Para tetangga dan keluarga saling bertanya, mencari tahu kemana Reha dibawa. Tak sedikit orang yang bingung dan bertanya-tanya, mengapa penguasa meributkan mimpi seorang warganya. Kejadian itu seperti pernah terjadi di zaman Firaun. Saat itu dia bermimpi melihat api. Firaun memanggil para peramalnya, yang menakwilkan mimpi itu dengan datangnya seorang lelaki yang kelak akan menggoyang tahtanya. Maka, Firaun memerintahkan untuk membunuhi setiap anak atau bayi laki-laki yang baru lahir.
Kisah Firaun dan mimpinya ini mencuat lagi di masyarakat. Mendadak banyak orang membicarakan keajaiban mimpi yang pernah ada. Seorang bijak berbicara di depan layar televisi, bahwa bermimpi adalah hak setiap manusia, setiap warga negara. Menurutnya, tak ada dalam sejarah manusia modern, orang disalahkan atau dihukum karena mimpinya. Setiap orang bolah saja dan berhak sepenuhnya untuk bermimpi.
Kabar ditangkapnya Reha menyebar semakin luas. Akibatnya, orang semakin demam berdiskusi tentang arti mimpi. Buku-buku tentang takwil mimpi menjadi best seller dan diserbu banyak peminat. Momentum yang membawa rezeki ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para penjual buku. Toko-toko buku yang tak biasa menjual atau memajang buku tentang tafsir mimpi, kini malah memajangnya di rak terdepan. Berbagai jenis buku tafsir mimpi dikeluarkan, sampai yang tebal dan bernada saintifik.
Penjualan buku mimpi tak hanya terjadi di toko buku atau di kios-kios, tetapi juga di jalanan, perempatan lampu lalu lintas, terminal dan lain-lain. Dalam beberapa hari, kabar mengenai Reha masih simpang siur. Dia seperti menghilang begitu saja. Keluarga Reha dilanda kegelisahan, begitu pula teman-teman dekatnya. Beberapa tetangga menyarankan agar keluarga melaporkan hilangnya Reha ke pihak berwajib. Yang lain berusaha mencari informasi tentang keberadaan Reha. Tapi semua sia-sia.
Kembali pada penangkapan Reha. Malam itu Reha dibawa ke sebuah bangunan tua untuk dimintai keterangan perihal mimpinya. Puluhan pertanyaan diajukan pada Reha. Yang memakan waktu sehari semalam. Pada hari kedua, Reha masih dicecar berbagai macam pertanyaan seputar mimpi yang dialaminya, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Dia ditanyai pula tentang orang yang menafsirkan mimpinya itu.
Dalam keadaan lelah, Reha terus dihujani bermacam pertanyaan. Reha sampai nyaris bosan menjawabnya. Pertanyaan berputar-putar, semakin membingungkan dirinya. Dia seperti dicurigai akan melakukan makar. Padahal dia hanya bermimpi menunggang gajah. Betapa anehnya penguasa ini. Tak ada jadwal istirahat bagi Reha kecuali waktu makan, yang dirangkapnya dengan menunaikan sholat. Wajah Reha semakin terlihat suntuk kelelahan. Apalagi, ketika waktu makan siang secara tak sengaja dia melihat seseorang yang kemarin menginterograsinya sedang mendorong kursi roda Pak Kudu, dengan Pak Kudu duduk diatasnya dengan wajah tampak ketakutan. Dia merasakan sebuah penyesalan yang dalam. Gara-gara mimpinya dia sampai menyeret orang yang tak bersalah. Orang itu hanya menafsirkan mimpinya.
Kasihan Pak Kudu sampai terlibat dalam urusan ini, keluh Reha dalam hati. Ternyata apa yang dikuatirkan Pak Kudu agar dia menutup mulut, menjadi kenyataan. Pak Kudu sudah mewanti-wanti agar arti mimpinya tidak tersebar luas. Kini, ini menjadi masalah yang rumit dan tampak dibesar-besarkan oleh penguasa. Reha tak menyangka bakal seperti ini.
Wajah-wajah sangar dan selalu mencecarnya dengan pertanyaan sangat mengintimidasi Reha.Reha teringat istri dan anaknya. Rasa rindu yang dalam pada keluarga membuatnya semakin sedih. Tak terasa air menetes dari kedua bola matanya, mengalir deras di pipinya.
Tiba-tiba seseorang bertubuh besar berkumis lebat membentaknya, “Hai, jangan cengeng!” “Ampun, pak,” sahut Reha ketakutan.
“Ayo ikut,” sergah si kumis itu. Wajahnya sangar. Suaranya keras. Reha pun bangkit dari duduknya, berjalan mengikuti orang itu. Reha dibawa masuk ke sebuah ruangan yang gelap. Tangan Reha ditarik.
“Ampun pak.” “Ampun pak.”
Reha merasa ada tangan yang menarik-narik kakinya dan memukul-mukul lengannya.
“Bangun! Bangun!” itu terdengar seperti suara yang pernah akrab di telinganya. Reha melihat cahaya yang sedikit menyilaukan matanya. Setelah dia mengatasi silaunya, dilihatnya seorang perempuan berbaju kuning memukul dan menarik lengannya. Reha terbangun. Ternyata orang itu adalah istrinya.
“Ya Tuhan!! Rupanya selama ini aku bermimpi.”
Reha melompat ingin memeluk istrinya. Dia lega sekali bahwa semua hal yang menyeramkan tadi cuma mimpi.
“Aih, apa-apaan sih Pak?” Istrinya buru-buru menghindar, menuju ke dapur.
“Lekas mandi. Dasar malas!” ujarnya sambil bergegas.
“Hari sudah mulai siang. Lekas bangun, nanti telat, lho masuk kerja,” sambungnya.
Reha mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Dia masih mendengar sayup=sayup istrinya mengomel.
“Paaaak….. Beras sudah mulai habis dan kita belum membayar tagihan listrik. Minggu ini juga orang cicilan motor datang menagih.”
Reha mengambil air untuk membasuh wajahnya sebelum mengguyur badannya, dan mandi dengan segar. Sejenak dia melamun dan berpikir bahwa mimpi dan kenyataan adalah dua bagian hidup yang sama-sama sulit dan menyeramkan.
_Di negeri yang merdeka, orang bebas
untuk bermimpi. Mimpi apapun yang ia suka.
Rangkailah mimpi itu dalam bingkai sebuah
cerita yang seakan nyata._
(Hamid Nabhan)
Surabaya 3 Desember 2020.
*Pengamat Seni dan Budaya yang tinggal di Surabaya.
Social Header