Breaking News

Menggugah Rasa Melalui Sketsa Hamid Nabhan

 

Oleh: Azmi Azis (*)

Keberadaan bentuk seni rupa (sketsa) sudah lama ada di dunia ini, bermula dari zaman primitif hingga abad modern. Seni rupa (sketsa) ada karena manusia dipakai untuk lingkup dirinya atau kelompok lain, seperti pada era primitif digunakan untuk persembahan (bersifat kolektif). Sedangkan pada masa kini seni katanya merdeka atas kepentingan, ya bisa untuk si seniman sendiri atau beralih kepada yang lain tergantung pengemasannya.

Kalau ditilik dari bentuk keberadaan seni dalam hal ini yang berwujud (rupa) kaum primitive menerangkannya dalam bentuk hiasan (ukiran) wadahnya bisa; batu, kayu, daun, kulit, dan tulang hewan pokoknya bersifat alamiah. Tetapi masa kini seni rupa tidak terikat lagi pada material, sang seniman (perupa) merdeka berbuat misalnya, bisa dalam bentuk dimensi dua maupun multidimensi.

Itulah sekedar kilas balik bagaimana sesungguhnya seni sketsa itu bermula dan untuk kepentingan apa, siapa dan maknanya. Kini akar seni rupa (sketsa) yang diusung oleh perupa energik asal Surabaya yakni Hamid Nabhan adalah ada nuansa selain oleh hal di atas. Ia tak mau lagi terjebak pada kepentingan apakah seni rupa diciptakan hanya bersifat kolektif atau pribadi. Yang wajib baginya adalah seni rupa itu bukan mutlak dipakai untuk apa dan mengapa, tetapi ia lebih senang mendobrak keangkuhan dan keserakahan makhluk yang katanya pengawal bumi ini yakni: manusia. Intinya Hamid lebih pada sentuhan jiwa terdalam, yakni ‘nurani yang bening’.


Menebar Kebajikan

Apa yang bisa dipetik sebagai sebuah renungan Nabhan dan pembelajaran dari proses kreatif ‘sketsa’nya, adalah, titk balik alam sadar kita tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam benak Hamid berandai-andai menilai bahwa makhluk penghuni bumi terlalu rakus sehingga ekosistem menjadi berantakan. Akhirnya keseimbangan jadi oleng yang berujung merugi, inilah yang digarap Hamid lewat karya sketsanya yang bersimbolkan melalui liukan garis yang lincah, energik, dan dahsyat.

Lewat sketsa Hamid mencoba menggugah rasa sekaligus menyentuh nurani agar tersadar untuk menebar kebajikan melalui sketsa. Kita jangan serakah untuk menerjang dan melebarkan sayap ‘kesombongan’ memenuhi nafsu duniawi tetapi alpa pada bisikan hati nurani.

Sosok perupa yang bernama lengkap “Hamid Nabhan”, karya sketsanya bukan sekedar menyiratkan atau simbolisasi ‘kegersangan’, tetapi di balik itu ada peringatan akan adanya suatu dunia yang hampa. Pria berpenampilan tenang dan bersuara lembut ini mencoba menerawang bahwa bumi akan segera meradang apabila makhluk yang katanya sebagai khalifah ini terus bersikap acuh pada ‘pepohonan’.

Obsesinya berimajinasi lewat goresan-goresan penanya nan artistic punya alasan tersendiri pula yakni menyeimbangkan nafsu dengan nurani. Hamid juga sadar bahwa sketsa ‘pepohonannya’ tak akan segera merubah perilaku buat hamba pemuja hedonism (kesenangan) ini. Keteguhan nuraninya seakan membimbingnya agar ia yakin dan percaya, suatu saat ‘jejak sketsa’ ini dapat menggugah rasa serta menyentuh jiwa kebajikan.

Bakat Seni

Begitu semangatnya ia meliak-liukkan jari jemarinya untuk memulai suatu goresan, ditambah kebiasaannya ‘hunting ke hutan-hutan’ ini ketika bersketsa tak terlihat ragu apalagi kaku. Kelancaran ini mungkin disebabkan antara pikiran dengan tangannya sudah menyatu dalam imajinasi, sehingga karya sketsa hadir siap untuk menebar aura tersendiri.

Kalau bicara kiprahnya di dunia seni rupa ini bukanlah hanya kebetulan tetapi sejak usia dini Nabhan sudah sering bertatapan dengan seni lukis. Pamanya seorang kolektor seni, ayahnya juga seorang penyair, maka dalam dirinya mengalir darah seni yang kuat, berakar dan punya spirit yang kekal.

Bakat seni lukisnya begitu bergelora ketika remaja ia sering diajak sang paman beraktivitas seni di studio kecilnya. Seni yang sudah merasuki jiwa dan pikirannya ini hingga sekarang tidak mampu dihambat, padahal ilmu akademisnya justru tentang pertanian. Itulah Hamid, walaupun ilmu pendidikan seninya tidak dilakoni secara formal tetapi bakat (ketarmpilan) seninya mengalir begitu saja.

Sebagai seorang perupa Hamid terbilang luar biasa di usia yang produktif ini ia sudah mengoleksi ribuan karya di galeri pribadinya. Belum lagi karya hasil perenungan dan perburuannya tentang alam yang ia sebut sebagai karya sketsa bagaikan album kompilasi dari nada rasa. Setiap karya sketsa ia beri titel yang setiap albumnya berbeda ritme, ada yang tegas garisnya, ada yang tersamar. Sublimasi itu semua bagaikan deretan panjang hingga jumlahnya sudah tak terbilang dan ia tetap menyimpannya dengan rapi.

Visi dan Misi

Kecintaan kepada alam jauh melampaui rasa kepeduliannya akan nuraninya sendiri, terlihat dari beberapa karya sketsanya pasti mengangkat tema tentang panorama alam, figure manusia, dan hunian. Ada rasa terusik tatkala ia banyak menjumpai hutan sebagai paru-paru bumi luluh lantak bukan secara alamiah akan tetapi karena ulah segelintir sosok manusia.

Ia memang tak berniat menuduh kepada siapa yang mengawali nafsu arogansi ini, tetapi ia bisa menangkap tanda-tanda dari alam itu sendiri. Secara visual ia guratkan kegalauan hatinya ini dalam bentuk goresan hitam putih. Gaya inl terinspirasi dari pergaulannya dengan komunitas pecinta alam dari kampusnya ditambah hasil arisan pikiran dari para seniornya seperti pelukis Surabaya dan pelukis Jakarta yakni Ipe Maaruf dan Amran Ekoprawoto.

Kedua tandem inilah yang memacu semangat adrenalinnya begitu menggelora yang pada akhir dari rekan-rekannya ini ia jalin komunikasi. Misinya setengah terwujud yakni terbitlah buku tentang otobiografi perjalanan karirnya di dunia seni rupa tanah air.

Kegigihan dan keteladanan perupa ia jadikan momentum untuk meraih cita-cita yang lebih besar yakni: “membumi hijaukan hutan yang gersang lewat sketsa atau mensketsa hutan yang gersang agar menjadi hijau nan asri”. Harapannya visinya ke depan mendapat apresiasi yang pas sekaligus menjadikan seni sketsa ini bukan karya yang terpinggirkan, tetapi sama dan sejajar dengan keberadaan seni lukis dan sebagainya.

Jujur dan Berani

Yang menjadikannya berkarakter dalam goresan sketsa seorang Hamid Nabhan adalah jujur dalam bertindak, tidak ingin dipuji karena sepak terjangnya, tak ingin disanjung karena idenya yang membumbung, Hamid Nabhan Cuma berharap tak mau sendirian bergerak mempopulerkan seni gambar (drawing) ini, ia mau secara kolektif mengusung.

Berani bertindak melawan kekejaman manusia kepada alam, berkata jujur kepada kemungkaran bahwa itu tak membawa nikmat, kebablasan, manusia merambah hutan malah laknat jadinya.

Sketsa Bukan Sekedar Garis

Seni sketsa atau ‘drawing’ budaya Barat menyebutnya sesungguhnya, bukanlah sekedar garis biasa tapi garis yang memang penuh perhitungan. Keunggulan sketsa Hamid adalah pada watak garis, tapi kelemahannya ada pada kesan monoton, minim ritme akhirnya terjebak pada hampa kedalaman ruang (perspekstif).

Dalam membuat sketsa tidak hanya mementingkan visual ketrampilan si pencipta tapi garis itu punya banyak makna. Sketsa juga tidak mau dibuatkan penuh dengan ekspresi sehingga menghilangkan bentuk akhirnya ya bisa kabur alias abstrak.

Membandingkan karya sketsa seniman dunia seperti Leonardo, Picasso, Paul Klee, mereka lebih banyak bahkan mengagungkan proporsi dan anatomi manusia. Lain halnya Van Gogh dan Affandi karya sketsanya menonjolkan tarikan garis putus-putus atau gelombang, tetapi Ipe Maaruf lebih puas bila sketsanya garis yang impress (bayangan). Atau Arman Ekoprawoto yang memilih spirit sebagai dorongan menghadirkan nuansa seni.

Karya sketsa Hamid Nabhan bolehlah dikategorikan kuat dalam tematik, terbukti bila ia menggarap pohon yang muncul kesan floris lebih mengena. Pepohonan menjadi lain apabila berubah bentuk mejadi garapan sketsanya. Pohon-pohn itu tanpa daun, karena sudah rontok, batang tak berujung karena tunas sudah impas. Pohon-pohon itu hidup merana menunggu kematian, anehnya pohon itu bak deretan berikutnya untuk dieksploitasi, antrian tangan-tangan kekar siap menghardiknya.

Itualah sekedar menegaskan bahwa sketsa Hamid Nabhan bukanlah garis biasa, tetapi garis yang menegaskan karya seni yang mandiri. Selama ini sketsa juga minim peminat (kolektor) membelinya, bagi Hamid Nabhan ia tak peduli karya sketsa dan karya lainnya sama-sama punya gregetnya sendiri.

Sekali lagi Nabhan berpesan lewat seni sketsa ini, bahwa semua cerita dapat tersirat. Cuma ada syaratnya kemauan ada tapi kemampuan minim, itu bisa disiasati, akan tetapi kemampuan ada tapi tak mau berbakti ini perbuatan keji. Yang pas ada kemauan diiringi kemampuan, berani berbuat dan berkata jujur itu sangat mulia.

Selamat buat Hamid Nabhan sekaligus salut karena berani dan jujur bertindak walaupun itu pahit adanya, ya sudahlah…inilah dunia fana yang tak pernah kekal dan abadi.

(*) Azmi, penggiat buku sketsa dan dosen seni rupa Universitas Negri Medan dan berdomisili di Medan

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id