Oleh: Prof. Jakob Sumardjo
Dalam menghadapi karya seni apapun, termasuk seni rupa, kita mengalami keadaan menyenangkan sehingga diri kita merasa sempurna, kaya, penuh, bermakna, baik, indah, dan tanpa beban apapun. Itulah sebabnya manusia membutuhkan kesenian dalam hidupnya. Barangkali itulah yang dinamai “keindahan”. Itulah kiranya yang disebut “pengalaman seni” sebagai “pengalaman keindahan”, meskipun Hamid Nabhan menggambarkan benda-benda tidak indah dari kehidupan sehari-hari, seperti ketandusan, kekeringan, pohon mati, dan lain-lain. Bahkan peristiwa-peristiwa sadis, pembunuhan dapat menyenangkan dalam karya seni, seperti misalnya adegan-adegan perang kaum samurai seperti banyak dipertontonkan dalam film-film karya Akira Kurosawa. Begitu pula tempat sampah yang menjijikan dalam pengalaman hidup sehari-hari dapat dibuat sesuatu yang menyenangkan dalam karya seni.
Obyek apapun, indah atau tidak, jahat atau baik, sempurna atau cacat, kesuburan atau ketandusan, dapat diangkat menjadi karya seni dalam arti “mengalami keadaan menyenangkan” tadi. Mengapa pengalaman sehari-hari yang tidak menyenangkan dapat diangkat dalam karya seni yang menyenangkan? Karya seni adalah “art” yakni “bikinan” manusia yang di dalamnya ada arti pengaturan. Pengaturan dalam karya seni punya maksud dan tujuan tertentu senimannya, yaitu memaknai segala sesuatu termasuk kenyataan yang tidak menyenangkan itu.
Obyek yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, indah atau menjijikkan, bukan masalah pokok seniman. Masalahnya adalah bagaimana ia menggali makna obyeknya, sehingga memperkaya pengetahuan dan pengalaman manusia. Makna itu disajikan lewat “art” dia yang sedikit banyak bersifat teknis seni dan pemikiran yang mungkin juga bersumber dari intuisinya.
Seniman Affandi terkenal dengan lukisan-lukisan wajah dirinya dalam berbagai emosi manusia. Meskipun wajahnya tidak sejelek apa yang ada dalam lukisannya, tetapi nampak dijelek-jelekkan mengikuti emosi dirinya yang sedang marah, masgul, bahagia, gregetan, dan sebagainya. Affandi sedang melukis makna kemarahan, kekecewaan, kebahagiaan, melalui wajahnya sendiri dengan pola pengaturan dan teknik yang amat dia kuasai.
Begitu pula seniman Hamid Nabhan ini memiliki sikap intelektual dalam memaknai obyeknya dan penguasaan teknis untuk mewujudkannya. Kepekaannya menemukan dan memaknai obyek lukisannya sudah terlatih dalam pengalaman seni rupa Baratnya, musik klasik Barat, dan puitika sastra. Seorang pelukis bukan hanya seorang perasa intuitif, tetapi juga seorang pemikir Kecintaannya
Kecintaannya pada alam (nature) dipertajam oleh pendidikan tinggi Pertaniannya di UPN Veteran Surabaya. Ia mengenal kehidupan alam luar dalam. Ia mencintai alam sebagai bagian dari dirinya. Alam itu adalah kehidupan itu sendiri, mirip dengan filosofi masyarakat pertanian Indonesia di masa purba. Alam ini titipan Tuhan untuk kesejahteraan manusia yang harus dijaga, dilindungi, dirawat, dan dicintai oleh manusia. Karena alam ini hidup seperti manusia, maka alam juga dapat mati seperti manusia. Lukisan-lukisan Hamid Nabhan banyak bercerita tentang kematian alam ini yang diwakilkan pada pohon-pohon.
Tidak ada lukisan pohon mati karena dirusak manusia. Pohon-pohon itu mati secara alami seperti manusia yang dapat mati tua atau mati muda, karena sebab-sebab alamiah tertentu.
Kecintaannya pada alam tentu saja berujung pada melestarikan alam sebagai titipan Tuhan untuk umat manusia seperti nenek moyang kita dahulu (dan sekarang juga di pedesaan), yaitu dengan mempertahankan kehidupan mereka dan membahagiakannya dengan kesuburan. pernah dalam eksplorasi alamnya di Bali, Hamid Nabhan tersesat di dalam sebuah hutan. Rupanya hutan itu memahami pribadi Hamid yang pecinta alam, sehingga “mengirimkan” seekor anjing padanya untuk menuntun ke luar menuju perkampungan. “Kalau kita baik pada alam, maka alam juga akan berbuat baik kepada kita”, ungkap Hamid dalam peristiwa ini.
Masyarakat tani dan bukan masyarakat industry yang sanggup belajar untuk mencintai alam sepenuh hati. Alam itu baik kalau alam itu dilindungi, dilestarikan, dihidupkan oleh manusia dengan kebudayaannya.
Masyarakat industry yang haus keuntungan material sering mempercepat kematian alam. Tetapi bukan itu yang menarik minat Hamid. Ia hanya tertarik pada kematian dan terik kerontang alam karena hukum alamnya sendiri. Alam itu patah tumbuh hilang berganti seperti manusia dan hewan-hewan. Hidup dan matinya alam itulah yang menjadi bahan renungan Hamid dalam lukisan-lukisannya. Kematian pohon di tengah-tengah suburnya pohon-pohon lain mirip dengan peristiwa kita manusia. Barangkali Hamid menangis juga ketika melukiskan kematian pohon-pohon itu.
Alam, seperti manusia dan makhluk-makhluk lain, menjalani hidup dan mati. Tetapi ada pohon yang nampaknya mau mati ternyata hidup lagi di lain musim, misalnya randu alas. Ada juga pohon-pohon yang hidupnya sampai ratusan tahun sejak zaman kakek buyut kita. Ada juga pohon yang hidup “miskin”, susah tumbuhnya, terbatas daun-daunnya, dan tidak menghasilkan buah atau bunga, di tanah yang tidak subur. Dan Hamid mempunyai passion terhadap jenis kehidupan botani ini, cinta yang mendalam, sehingga sampai pada tingkat perenungan yang mengagetkan kita dan membawa kita pada perenungan diri kita sendiri.
Saya amati setiap lukisan pemandangan alamnya selalu berbeda-beda. Meskipun obyeknya sama, tetapi dilukis dari perspektif yang berbeda. Ia berprinsip “kebaruan” dalam seni modern Barat. Itulah sebabnya rata-rata lukisannya menarik, karena pemilihan obyek lanskapnya yang memang nyata dan dimainkan dalam prinsip estetika kontrasnya yang otentik milik dia.
Memang tidak pas dan tidak adil menilai lukisan-lukisannya hanya berdasarkan reproduksi foto. Kita akan kehilangan perspektif ruang dalam kanvasnya. Berapa ukurannya dan menyaksikan warna-warna aslinya dalam tekstur, sapuan kuas, arah sapuan, dan lain-lain yang dapat memberikan nilai lain dari karya-karyanya. Warna dalam cetakan foto tentu dapat berbeda dengan lukisan aslinya. Saya jarang melakukan hal itu, dan pernah diprotes audiens diskusi ketika saya didakwa hanya menilai dari foto-foto lukisan Heri Dono, padahal saya menghadiri sendiri pameran lukisannya di Galeri Sumardja FSRD ITB.
Tentang impresionisme lukisannya, saya tidak peduli. Impersionisme itu salah satu babak sejarah seni rupa Perancis. Sejarah seni rupa kita tidak ada yang mengalami zaman seperti itu. Kita belajar seni rupa modern Barat secara keseluruhan aliran yang pernah berlangsung di benua asalnya. Akibatnya segala jenis aliran seni datang pada kita dan tidak disadari mencampuradukkan berbagai aliran. Meskipun mengaku Impresionsis (melukis outdoor untuk menangkap alam dan manusia dalam cahaya tertentu, Hamid mengagumi Van Gogh yang juga ekspresionis atau post-impresionis. Menilik lukisan-lukisannya yang selalu bercahaya siang terang benderang dengan berbagai kontras warna, Hamid lebih dekat dengan Van Gogh daripada kaum impresionis Perancis.
Hamid lebih mengedepankan subyektivitasnya dalam memilih obyek dan cara penyelesaiannya, tidak semata-mata tergantung dari kondisi obyeknya yang cepat-cepat harus direkam dalam lukisan sebelum gerak cahaya alam berubah. Mengamati banyak lukisan pemandangannya lebih mengingatkan pada lukisan-lukisan Vincent Van Gogh atay Cezanne (seperti yang dikatakan istri AD Pirous) daripada kaum impresionis. Kalau mau disebut demikian juga, maka itulah Impresionis Indonesia, khususnya Hamid Nabhan.
Affandi dan Rusli menemukan gaya atau isme sendiri. Affandi sering dikategorikan Ekspresionis, tetapi Rusli mau dimasukkan dalam aliran Barat yang mana?
Hamid Nabhan memilih tempatnya sendiri dalam deretan pelukis pemandangan alam sejak zaman colonial dahulu. Ratusan pelukis asing melukis keelokan alam dan budaya Indonesia, terutama di pedesaan. Kemudian dilanjutkan kaum Mooi Indie Indonesia seperti Abdullah, Pirngadi, dan Wakidi. Semuanya memilih obyek pemandangan yang indah seperti dicetak dalam kartu pos bergambar di masa kemudian. Itulah obyek luar. Sedangkan Hamid memilih obyek alam yang tidak indah, karena tujuannya memang bukan membikin lukisan turistik semacam itu. Hamid memilih obyek lukisan didorong oleh pemikiran kontrasnya tentang hidup dan mati. Ia lebih banyak tertarik pada aspek kematian alam yang justru tercermin dalam warna-warna kuning-coklat terang, bukan yang hijau royo-royo. Pohon-pohonnya yang hijau royo-royo justru digambarkan dalam warna gelap yang suram. Seperti pengakuannya, ia menghindari detil. Memang seharusnya begitu, karena alam itu makro. Meskipun demikian ia dapat mempertanggung jawabkan jenis pohon apa yang dia lukis, sekalipun cuma sosoknya.
Sebagai otodidak ia telah melampaui “akademisnya” sendiri. Ketrampilan teknik sudah menjadi bagian dari intuisnya. Kita tinggal menanti apakah Hamid tetap kukuh pada kontras alam yang dipilihnya selama ini, atau akan menemukan pandangan baru dari alam Indonesia yang amat beragam ini, yaitu menemukan jenis kontras lain dari alam.
Bandung, 2 Oktober 2018
Social Header