Breaking News

JANJI


Oleh: Hamid Nabhani

Lidah yang pahit terkadang menjadi manis jika berbicara kejujuran, tapi lidah yang manis akan terasa pahit bila bicara kebohongan_

(Hamid Nabhan)

(1)

Di sebuah negeri yang jauh, di siang hari yang terik, orang-orang datang berduyun-duyun memenuhi alun-alun kota dengan penuh semangat. Mereka menghadiri kampanye pemilihan pemimpin baru yang diusung partai bergambar kadal. Walau terik matahari cukup menyengat, bagi mereka tak menjadi soal. Bahkan, tampak dari wajah-wajah mereka sedikit senyum, karena senang mendapatkan uang saku dari panitia acara. Walau jumlahnya tak seberapa, tapi bagi mereka cukup untuk menyambung hidup satu dua hari ke depan.

Hiruk pikuk suara ribuan orang yang berdatangan itu tiba-tiba senyap, seiring naiknya calon pemimpin yang diusung partai bergambar kadal ke podium yang telah disediakan. Pekik perjuangan para supporter terdengar seperti lolongan panjang, disambut pengunjung dengan suara tak kalah menggelegar. “Hidup kadal!!” “Hidup kadal!!” Semua saling bersahutan, kadang serentak dan bersamaan. Selama beberapa menit yel-yel itu dipekikkan berulang-ulang. Lalu, ketika sang calon pemimpin mengangkat tangan, semua terdiam.

Sang pemimpin yang mempunyai nama Kabun, tampak anggun dan berwibawa, dengan pipi merah seperti buah tomat, mengenakan baju yang terbuat dari sutra yang tampak mahal. Dia memulai orasinya.
“Saudara-saudara hadirin yang saya hormati dan saya muliakan, terima kasih telah hadir di tempat ini. Hari ini kita semua berkumpul di sini untuk menjadi saksi dimulainya suatu program yang tujuan dari program ini adalah untuk kemakmuran kita bersama. Apa yang belum kita tuntaskan pada periode yang lalu, akan saya selesaikan dalam periode kepemimpinan saya yang akan datang. Nanti bila saya terpilih, semua janji-janji saya akan terealisasi.”
Para hadirin serentak sorak penuh semangat dengan yel-yel “Hidup Kabun!!” “Hidup Kabun!!”
Kemudian Kabun melanjutkan dengan mengatur nada suaranya agar terdengar lebih berwibawa: “Jika saya nanti terpilih, kalian tidak perlu lagi memikirkan tentang tagihan listrik, karena saya bersama partai pengusung sudah berencana untuk membebaskan semua biaya listrik bagi rakyat. Saya menyadari betul, karena dukungan suara rakyat, ya, Anda semua yang hadir di sini, maka saya bisa hadir dan berdiri di sini dan siap memimpin kembali. Membebaskan biaya listrik adalah salah satu tanda Terimakasih saya pada rakyat, kalian semua.”
Sontak hadirin berteriak sambil bertepuk tangan dengan gegap gempita. Sungguh luar biasa orasi Kabun. Janji-janjinya berhasil membius hadirin.
“Tolong! Dan kritiklah saya. Saya paling suka dikritik, karena kritik bagi saya adalah pelita demokrasi yang menerangi jalan kekuatan bangsa. Kritik bagi saya seperti gita yang merdu dan lembut, sanggup memberi semangat untuk bekerja lebih giat dari biasa.”

Para hadirin yang takjub dan kagum, menyambut pernyataan itu dengan tepuk tangan gemuruh.
“Saudara saudari para hadirin yang saya hormati.” Suara Pak Kabun menggelegar di seluruh alun-alun kota yang sesak penuh dengan simpatisannya. “Coba lihat di ujung sana!!” Pak Kabun menunjuk bukit yang bentuknya seperti punggung kura-kura. “Lihat! Di dalam perut bukit itu tak hanya berisi tanah dan batu seperti yang kalian perkirakan. Tapi saudara dan saudari yang saya hormati, tahukah Anda semua, apa isi perut bukit itu?”
Para hadirin terdiam dengan rasa keingintahuan yang begitu dalam.
Pak Kabun melanjutkan: “Para hadirin, kalian semua yang berdiri di sini. Bukit itu berisi kekayaan yang terpendam, kakayaan alam yang luar biasa. Emas, ya, bukit itu mengandung emas…”

Para hadirin terbelalak matanya, rasa takjub makin tampak di wajah mereka. Mereka berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pak Kabun melanjutkan lagi pidatonya dengan semangat yang tak kunjung padam: “Saudara saudari, milik siapakah emas itu?” situasi hening sejenak.
Kemudian, Pak Kabun dengan sedikit santai melanjutkan pidatonya, menjelaskan bahwa emas itu milik rakyat. “Kalianlah, wahai rakyat, yang memiliki sepenuhnya emas itu!” Seketika meledak teriakan gembira dari para hadirin. Ada rasa euforia yang memuncak, disusul teriakan yel-yel “Hidup Kabun!” “Hidup Kabun!” Kabun pemimpin kita!” “Hidup Kabun!” Sekitar 20 detik kemudian, suara itu mereda.
Pak Kabun menyambung pidato kampanyenya yang berapi-api: “Kelak setelah saya terpilih lagi menjadi pemimpin kalian, maka segera bukit dengan kandungan emas itu akan kami gali, dan hasil dari tambang emas itu dibagi secara adil dan merata kepada rakyat. Kepada kalian! Tambang itu akan menghasilkan emas yang sangat banyak, ratusan juta ons emas. Semuanya untuk kesejahteraan kalian. Mungkin nanti kran-kran kamar mandi akan kalian ganti dengan emas. Tentu bisa saja kalian mengganti gigi-gigi yang kalian punyai dengan emas-emas itu sesuka kalian, agar senyum kalian cemerlang dan secerah matahari di bulan Agustus. Maka, bisa kita sebut senyum itu adalah senyum kemakmuran, senyum kesejahteraan, dan senyum kemenangan kita semua. Dan ingat! Kalian yang di sini semua akan menjadi saksi, potong telinga saya kalau saja saya tidak merealisasikannya.”

Alun-alun kota pecah dengan gemuruh sambutan hadirin. Mereka terpukau dengan kepiawaian Pak Kabun dalam menyampaikan visi dan misinya, yang dibumbui janji-janji yang mempesona.
“Saudara sekalian, saya akan menghapus bersih dan menendang jauh praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena ini semua bertentangan dengan nurani kita dan berseberangan dengan asas yang kita anut, yaitu asas kebersamaan dan kesetaraan.”
“Saudara, dalam hal ini saya tidak akan menempatkan kerabat dekat maupun saudara yang sedarah untuk ikut serta dalam program-program yang saya kerjakan, karena saya meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kerabat. Karena kepentingan kalian adalah yang utama di atas segalanya. Saya sadar saya digaji dengan uang yang berasal dari kalian, yaitu dari rakyat. Dan jika saya terpilih lagi tentu nantinya saya akan total bekerja untuk rakyat, untuk kalian semua.”
Para hadirin berjingkrak-jingkrak gembira, berteriak-teriak hingga suara mulai serak. “Dan nanti jika saya terpilih saya tidak akan menurunkan pajak.”

Mendadak hadirin terdiam. Wajah-wajah yang dipenuhi euforia, berubah menjadi kekecewaan. Suasana terasa hening. Sedikit tegang. Wajah-wajah mereka terlihat kebingungan dan pucat. Ini terjadi beberapa detik. Lalu, dengan cepat dan suara menggelegar Pak Kabun menyampaikan pidatonya: “…Tapi…tapi saya akan menghapus pajak yang selama ini membebani. Dan ingat, ini saya perjuangkan demi rakyat, demi kalian semua.” Gemuruh teriakan para hadirin meledak. Suara mereka bisa jadi setara dengan dentuman bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima. Teriakan yel-yel “Hidup Kabun!” “Hidup Kabun! Pemimpin kita yang merakyat.!” terus terdengar seperti kereta barang yang berjalan perlahan dan sangat panjang, bagai tiada ujungnya. Suara itu bergemuruh di alun-alun kota yang penuh sesak dengan rakyat yang terpukau oleh janji-janji manis calon pemimpin Kabun. Mereka terus berteriak, berjingkrak, bergembira, bertepuk tangan tiada hentinya. Lalu tanpa dikomando mereka bersama-sama menyanyikan mars Partai Kadal, partai pengusung Kabun.

Bangun bangunlah
Pemimpin bijak telah tiba
Mari kita semua bekerja
Membangun masa depan bangsa

Kemakmuran ada di depan mata
Karena hasil kita bagi rata
Hai kamu yang tidur di sana
Bangun!! Cepat kemari dan lihatlah

Hasil panen kami melimpah
Bukit-bukit penuh cahaya
Emas, batubara, intan dan tembaga
Semua milik kita bersama

Lautan kita kaya
Hutan-hutan kita jaga
Partai Kadal selalu jaya
Menaungi para pekerja

“Hidup pemimpin kita!” “Hidup pemimpin kita!” Kabun ikut bernyanyi sambil mengepalkan tangan. Dengan khusuk dia memejamkan mata, bibirnya mengikuti syair lagu yang dikumandangkan para pendukungnya. Setelah lagu selesai, hadirin seperti biasa meneriakkan yel-yel “Hidup Kabun! Pemimpin yang memperhatikan rakyat!”
Gegap gempita suasana alun-alun di siang menjelang sore hari, ketika matahari mulai condong ke barat. Kabun mengingatkan sekali lagi: “Jangan lupa untuk memilih saya di hari pemungutan suara nanti, karena satu suara Anda sangat berarti bagi kemajuan dan kemakmuran negeri ini kelak. Kita akhiri pertemuan ini. Kita harus tertib meninggalkan alun-alun kota.”
Sambil tetap meneriakkan yel-yel, hadirin berjalan pulang meninggalkan alun-alun yang mulai lengang. Dalam orasinya yang berlangsung lebih dari dua jam, Kabun berhasil memukau rakyat. Tercatat dia menyebut kata “rakyat” sebanyak 123 kali, frasa “demi rakyat” sebanyak 91 kali, frasa “adil dan makmur” sebanyak 65 kali, 31 kali “janji”, serta 378 kata “saya”.

(2)

Pada pagi hari yang sama, penantang Kabun juga mengadakan kampanye di kota yang lain. Waktu yang dipilihnya sore hari, bertempat di stadion sepak bola yang terletak di pinggiran kota. Para peserta begitu antusias. Mereka datang berduyun-duyun dengan membawa bendera-bendera kecil bergambar jagung. Mereka memenuhi semua tribun lapangan bola, sambil berteriak penuh semangat. “Hidup Partai Jagung!” “Hidup Partai Jagung!” “Hidup Jabus!” “Hidup Jabus!”Pak Jabus adalah kandidat yang diusung partai bergambar jagung. Orangnya bertubuh bersih, berkulit agak putih, dan pada jari jemarinya dipenuhi cincin permata berwarna warni. Dia langsung memasuki podium dan menyambar mic tanpa basa basi, langsung memberikan salam kepada seluruh hadirin. “Para hadirin sekalian, saya datang di tempat ini dengan maksud ingin mengadakan satu perubahan besar untuk kemakmuran kalian semua. Visi dan misi kami jelas, ingin mengajak semua rakyat yang saya cintai agar tak salah memilih. Karena kesalahan dalam memilih adalah bentuk bunuh diri massal. Ketahuilah, saya lahir dari rakyat kecil dan saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat.”
Gemuruh tepuk tangan para hadirin yang memenuhi stadion lapangan bola.
Jabus melanjutkan pidatonya dengan suara yang mulai meliuk-liuk seperti suara nyanyian seruling yang basah. “Saudara, kesejahteraan rakyat adalah prioritas dari misi kami. Saudara yang saya cintai, jika saya terpilih dalam pemilihan ini, saya akan menjamin kemakmuran. Kemakmuran akan terbit bersama sang surya. Kemiskinan akan lenyap selama-lamanya. Bahan pangan akan melimpah dan semuanya terjangkau, tak ada kenaikan harga apapun. Ludahi muka saya jika hal ini tak terwujud jika saya terpilih nanti. Dan ingat!! Saya juga berjanji, jika saya terpilih akan saya buat nilai mata uang kita akan stabil dan akan jauh melampaui mata uang manapun. Kita akan menjadi negara yang kuat.”

Hadirin berteriak-teriak gembira sambil bertepuk tangan.
Jabus berdiri tenang sambil melanjutkan orasinya. “Hari ini adalah hari rakyat dan selamanya milik rakyat. Tanpa rakyat tentu negeri ini tak berdaulat. Lihatlah, betapa subur tanah kita. Cacing-cacing pun bergembira di dalam tanah. Mungkinkah yang hidup di atas tanah menderita? Tidak!! Tidak akan!! Jika terpilih, bersama rakyat kita semua bertekad mewujudkan mimpi menjadi nyata."
"Demi” rakyat saya akan menggratiskan rumah sakit dan obat jika nanti terpilih, karena ini adalah prioritas kami dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan kuat. Jika rakyat sehat, negara akan kuat, kita akan menjadi Negara yang disegani dunia.” Para hadirin berteriak-teriak histeris. Satu dua orang pingsan, mungkin karena lelah atau terlalu intens mengikuti orasi serta rasa gembira yang berlebihan.
Setelah mendengar janji-janji Jabus, sebagian orang dengan wajah terpesona menengadahkan tangan ke atas seakan-akan melihat Jabus sebagai sang juru selamat yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengubah nasib mereka. Sebagian lainnya terus meneriakkan yel-yel “Hidup Jabus!” “Hidup Jabus!” Kesempatan ini digunakan Jabus untuk meneguk air minum penghilang rasa hausnya. Kemudian Jabus melanjutkan: “Saya akan mengurug selat-selat yang tak berguna, akan saya gunakan sebagai ladang pertanian yang subur. Saudara para hadirin, mana suara para petani di sini?”

Dari tribun timur orang-orang berdiri memperkenalkan diri sebagai petani sambil mengepalkan tangan.
“Ya, ya. Nanti tempat itu adalah milik kalian, karena kalian adalah pahlawan yang tak perlu bintang. Kalian adalah pahlawan pangan bagi seluruh rakyat.”
Di tribun timur para petani berjoged ria seperti mengikuti irama orasi Jabus.
“Hai para pemuda penerus generasi bangsa,” sambung Jabus dengan mulut yang mulai berbusa. “Tiap-tiap Rukun Warga akan mempunyai lapangan bola, karena kita membutuhkan generasi yang kuat, sehat, dan bermental baja. Juga bagi para ibu dan bapak sekalian yang merasa mempunyai beban menyekolahkan anak. Tak perlu kuatir. Saya akan menggratiskan semua biaya sekolah, dari sekolah dasar sampai mencapai gelar doctor. Dari seragam sampai buku-buku, semua gratis. Ditambah uang saku.” Suasana stadion pecah bergemuruh. Antara sorakan, tepuk tangan, tangisan, sampai teriakan yel yel menjadi satu. Satu menit telah lewat. Memasuki menit kedua, suasana menjadi hening kembali. Jabus melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
“Saudara-saudara, atas nama cinta kepada rakyat, kepada Anda semua, kita bisa berkumpul di sini,” lanjut Jabus dalam orasinya. Suaranya mulai agak kendur mungkin mulai lelah atau ingin mengatur nada suara agar tampak lebih berwibawa. “Negeri kita penuh dengan kekayaan alam. Akan kita gali tambang kekayaan alam itu, kita manfaatkan untuk jalan menuju kemakmuran kita semua. Kita akan membeli kapal-kapal penangkap ikan yang modern, yang di dalamnya dilengkapi radar pelacak ikan, sehingga memudahkan para nelayan mencari ikan. Kapal-kapal ini akan kami bagikan cuma-cuma kepada tiap keluarga nelayan, agar para nelayan tidak perlu lagi menyewa kapal untuk menangkap ikan sebagai mata pencahariannya.”

Para hadirin terus menerus berteriak dan bertepuk tangan penuh antusias memuja-muja Jabus yang menjadi idola mereka.
“Kalau terpilih, saya akan memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat sehingga tercipta rasa aman tak ada rasa ketakutan. Tak ada peluang bagi maling, copet, maupun jambret. Jadi, semua akan merasa aman dan terlindungi. Dan harap ingat, kelak jika terpilih tentu saya akan menjalankan konstitusi dengan benar. Di bawah sumpah, saya akan melaksanakan tugas yang diamanatkan kepada saya.”
Suara Jabus menggelegar ke seantero stadion. Dasi kupu-kupu yang dikenakan Jabus seperti bergerak-gerak mengikuti gerakan tubuhnya yang penuh semangat. Kupu-kupu itu seakan-akan terbang ke mulut Jabus yang lebar seperti lobang tambang yang menganga. Hadirin tak henti-hentinya bertepuk tangan, suasana stadion begitu ramai. Bendera-bendera dan baliho bergerak-gerak mengiringi teriakan yang tak henti-henti.
“Di bidang keamanan, kita tingkatkan keamanan terpadu. Kita bangun satu kesatuan, dimana satu dengan yang lain saling bekerjasama, dari tingkat kampung, kota, sampai propinsi, sehingga tak satupun wilayah yang terlupakan. Saya akan membagikan drone secara gratis kepada seluruh kelurahan sehingga tak ada yang luput dari pantauan kita. Para maling motor maupun maling ayam tak bisa berkutik karena begitu ketatnya keamanan. Semua wilayah aman terkendali. Dengan keamanan yang terjamin, semua aktivitas lancar. Dan dengan kelancaran kerja, kita jadi makmur.jika janji yang saya ucap tak terwujud, maka saya akan tanggalkan pakaian saya, dan saya akan keliling kota tanpa busana. Inilah taruhan nama baik saya, karena saya menjunjung norma-norma susila dan tentu saya menjunjung nama baik saya, seperti saya menjunjung sumpah setia saya bila saya jadi pemimpin kelak. Saudara saudari hadirin dan yang di rumah yang mendengarkan lewat radio dan televisi, saudara tak perlu kuatir akan masalah kebutuhan hidup. Jika terpilih, sehari setelah saya disumpah, kemakmuran akan mulai terlihat. Tanda-tanda itu akan tampak ketika tim perhitungan suara memenangkan saya.”
“Saudara, saya hanya ingin menambahkan sedikit saja. Saya ingin menjelaskan. Bila saya terpilih, langkah pertama akan saya titik beratkan pada sektor pangan. Saudara semua yang hadir di sini tahu bahwa kuatnya negara bergantung pada kekuatan pangan, yakni makmurnya pertanian di negara itu.
Maka saya akan tunjang kekuatan agrikultur dengan menyekolahkan para petani ke negara-negara yang maju pertaniannya. Dalam waktu setahun para petani kita akan kembali dan membawa pulang ilmu pertanian modern. Dengan mengimpor kemajuan di bidang teknik pertanian, maka pertanian kita akan maju sepuluh tahun dari masa sekarang. Bagaimana nanti bisa memanen jagung atau padi dalam sebulan sekali. Kemakmuran ada di depan mata.”
Para hadirin bersorak riuh. Di tribun timur para petani yang hadir seperti lepas kendali saking senangnya. Mereka melompat-lompat riang seperti kelinci melompat-lompat di padang rumput yang luas di musim kemarau. Pekikan mereka penuh semangat, dengan sisa-sisa suara yang melengking seperti suara orang yang dicekik. “Hidup Jabus!” “Hidup Jabus!” “Hidup Jabus pemimpin rakyat!” Para hadirin semua berteriak dan terus berteriak memuja Jabus sang tokoh idola mereka.
Selesailah orasi Jabus yang diusung partai bergambar Jagung. Para pengunjung tertib meninggalkan stadion. Hanya ada satu dua insiden kecil, seperti ada orang yang baru sadar dompetnya telah dicopet. Kejadian-kejadian seperti ini menimbulkan kegaduhan kecil dan kemudian hilang ditelan kerumunan massa yang berjalan pulang. Hari mulai petang.
Hampir dua jam waktu yang diberikan untuk Jabus dalam menyampaikan visi dan misinya. Jabus menyebut kata “rakyat” sebanyak 103 kali. Yang diembel-embeli kata “demi” di depannya, yaitu “demi rakyat”sebanyak 73 kali. Frasa “adil dan makmur” sebanyak 82 kali, serta 21 kata “janji”, dan kata “saya” terucap tak kurang dari 200 kali.

(3)

Dari hari ke hari, minggu ke minggu, kedua calon begitu rajin dan bersemangat menyampaikan visi dan misi yang mereka usung. Tak luput kedua wakil mereka juga mengisi acara-acara debat untuk menyampaikan program masing-masing. Kadang ketua dan wakil, kadang antar ketua saja atau wakilnya saja saling berhadapan. Perdebatan mereka meramaikan media massa, kadang disiarkan langsung melalui televisi dan radio. Wajah Kabun dan Jabus selalu memenuhi suratkabar-suratkabar. Media juga dipenuhi gambar kedua calon berangkulan dengan orang miskin yang berpakaian compang camping.
Mereka tak menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk menyebarkan simpati ke masyarakat luas dengan harapan bisa meraup suara mayoritas. Keduanya seperti tak punya rasa lelah, berkampanye dari kota ke kota, dari propinsi ke propinsi, selama sebulan lebih tanpa henti. Tentu banyak janji manis yang dilontarkan dengan baik oleh kedua pasangan.
Jalan-jalan penuh dengan poster, baliho, bendera, dan tempelan kedua wajah calon pemimpin. Sebagian orang memakai kaos bergambar wajah sang calon pemimpin yang menjadi jagonya. Di akhir minggu keempat, masuklah minggu tenang. Masing-masing calon dan wakil beserta pendukungnya tak boleh lagi berkampanye, dan gambar yang menyangkut kepentingan kedua calon dalam menyampaikan visi dan misi harus diturunkan semuanya. Tapi keadaan dalam minggu tenang justru menjadi tidak tenang. Simpatisan kedua calon tetap saling menyerang dan saling mengolok, saling memuja dan mengangungkan calon pilihannya masing-masing.
Persatuan terasa terkoyak. Sesama sahabat terpecah-belah. Antar saudara tak saling menyapa, juga guru dan murid seperti menjauh. Tetangga yang biasanya ramah kini seakan tak kenal satu sama lain. Ini karena perbedaan dalam memilih calon pemimpin. Kadang juga antara orang tua dan anak sudah tak lagi harmonis. Hal ini disebabkan si ibu memilih Jabus sedang si anak memilih Kabun, dan sebaliknya. Begitu dahsyatnya efek pemilihan ini, tentu karena dimotori janji yang sangat dipercaya oleh para pendukung. Kepercayaan yang cenderung fanatik ini mampu mengubah karakter dan kepribadian seseorang. Ada pula orang yang dikeluarkan dari tempat kerja karena pilihannya tidak sejalan dengan pilihan bos mereka.
Persatuan luntur, perbedaan menganga seperti jurang yang memisahkan daratan. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sudah terjadi jarak antara pendukung Kabun dan pendukung Jabus. Istilah-istilah baru telah lahir dan bermunculan seperti jamur di musim hujan.
Para pendukung Kabun mengolok-olok para pendukung Jabus dengan memplesetkan sebagai “jagung busuk”, sedang pendukung Jabus membalas olok-olok itu dengan memplesetkan nama Kabun sebagai singkatan “kadal buntung”. Terus menerus keadaan seperti ini, bangsa mulai terkoyak dan hal seperti ini tak mereka sadari. Tiada hari tanpa saling memaki atau menyindir.

(4)

Tibalah saat pemilihan. Pagi ini terasa matahari terlambat terbit. Masyarakat antusias menanti hari pemilihan. Mereka tak sabar menunggu pilihannya untuk menjadi pemenang. Para pemilih berdandan rapi, bahkan berebut kursi terdepan, siap untuk dipanggil di bilik-bilik suara, dimana mereka akan menentukan pilihannya. Suasana cukup tertib, walau di beberapa tempat terjadi keributan-keributan kecil, karena kertas pemilihan yang bergambar dua calon diketahui ada yang berlobang. Mungkin terkena paku atau kesalahan teknis waktu di percetakan. Tapi insiden-insiden seperti ini segera teratasi dan pemilihan berjalan lancar.
Kedua kubu saling mengklaim kemenangan walaupun pemilihan masih berlangsung di bilik-bilik pemungutan suara. Suasana semakin tegang di hari-hari sesudahnya, saat perhitungan terus dilaksanakan. Semua mata tertuju pada angka-angka jumlah suara yang masuk. Suara demi suara terkumpul, protes demi protes terlontar. Kecurangan-kecurangan dicuatkan ke permukaan. Ada yang terpasang di headline suratkabar. Kasak kusuk mulai menyebar, wajah-wajah yang diselimuti fanatisme mulai tergambar. Bentrok-bentrok kecil di antara pendukung terjadi. Beberapa orang berdasi yang muncul di televisi menyatakan hal tersebut adalah hal biasa dan ini merupakan bunga demokrasi.

Tim perhitungan suara yang diketuai Pak Karlak, pria berusia 40 tahun berperut buncit, berkacamata tebal, sekitar 1,5 cm tebal kacamatanya. Pak Karlak dalam tugasnya dari pagi sampai malam selalu memelototi data yang masuk. Tak satupun datum yang luput dari perhatiannya. Itulah sebabnya mengapa dia memakai kacamata yang sangat tebal. Pak Karlak merasa bingung, ragu, dan sedikit takut untuk mengumumkan hasil perhitungan suara. Dia kuatir terjadi bentrok besar.
Maka setelah terjadi perundingan yang cukup melelahkan, ditariklah suara bulat bahwa hasil yang sudah ditetapkan dengan matang akan diumumkan di tengah malam, saat masyarakat masih terlelap dalam tidurnya. Saat mereka masih bermimpi akan janji manis sang idolanya.
Tiba-tiba program di televisi maupun radio terhenti. Pak Karlak muncul dengan dasi panjang dan wajah terlihat lelah dan mengantuk. Pengumuman yang disampaikannya cukup panjang, umumnya mengenai angka-angka perolehan suara. Pada akhir keterangannya, diumumkanlah hasil pemilihan: Kabun memenangkan suara terbanyak dan berhak memimpin kembali.

Esok harinya keributan-keributan terjadi terus menerus. Pak Jabus tidak bisa menerima hasil yang diumumkan Pak Karlak di pagi buta. Menurut Pak Jabus, banyak wilayah yang dimenangkannya. Protes demi protes dilayangkan, demo-demo dilakukan tapi tak sanggup mengubah keputusan.

(5)

Waktu terus berlalu. Tak terasa lebih dari setahun Kabun berkuasa. Saling memaki diiringi rasa dengki antar pendukung terus terjadi. Hal-hal penting mulai terlupakan. Setiap hari selalu ada hujatan dibalas hujatan. Mulai banyak orang-orang yang merindukan kata “rakyat” yang sudah tak pernah terucap. Orang rindu mendengar kata “demi rakyat” yng sudah tergantikan kata “demi keluarga dan kerabat”.
Saling benci antara pendukung Kabun dan Jabus masih membara. Sebagian mengipas-ngipas dan sebagian yang lain diam, merasa seakan tak pernah terjadi apa-apa. Pak Jabus dan Pak Kabun sudah terlihat bergandengan dan saling berbagi, tapi tidak bagi para pendukung mereka yang masih berseteru. Mereka masih tak saling menyapa. Di masyarakat, seolah hanya ada dua kelompok: pendukung Jabus yang diolok-olok menjadi “jagung busuk”, dan pendukung Kabun yang diejek sebagai “kadal buntung”. Dunia menjadi sempit di pikiran mereka.
Permusuhan itu begitu dalam dan cepat menyebarkan pengaruh, merobek-robek harmoni dan toleransi dalam kehidupan berbangsa. Dulu rakyat ramah bertegur sapa, kini mereka saling membuang muka dan mencaci maki. Selain masyarakat yang terpecah, ada juga sebagian dari mereka yang masih menunggu janji-janji manis yang pernah terucap di masa kampanye. Janji itu masih melekat dalam ingatan, karena waktu terucap, janji manis itu melewati rongga telinga secara halus, meraba dan mengetuk gendang telinga seperti musik surgawi yang memikat, langsung melekat di otak mereka. Sebagian lainnya mulai ragu dan tak percaya serta pasrah menerima semuanya. Tekanan dan beban mulai dirasakan rakyat, dipicu oleh kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan peluang kerja yang semakin hilang. Hidup dirasa semakin sulit, kebutuhan hidup sehari-hari semakin tak terjangkau.
Sebagian orang-orang yang lain masih berhalusinasi, sambil kesana kemari mereka mendekap manisnya janji sang idola, membahasnya dalam obrolan di warung-warung nasi. Memang, menurut para ahli, di negeri semi demokrasi masyarakat hanya mengenal dan menggandrungi tiga jenis rasa manis: rasa manisnya gula, madu, dan janji. Yang terakhir ini lebih melekat, karena manisnya janji selalu terngiang di telinga dan tertanam di benak mereka.
Kabun, seperti layaknya orang yang kerap mengumbar janji, selalu berbicara bijak dan penuh nasihat, agar rakyat bersabar, prihatin, dan menahan diri dalam situasi ekonomi yang sulit seperti ini.
Terkadang Kabun bersiasat, bagaimana agar pendukungnya melupakan janji manis yang pernah dia ucapkan saat kampanye. Antara lain, situasi yang memanas antara pendukungnya dan para pendukung Jabus dibiarkannya berlarut-larut. Dengan demikian, janji-janji manisnya tak pernah disebut, apalagi sampai mereka menuntut. Menurut pemikiran Kabun, janji manis yang dilontarkan di saat kampanye adalah bunga demokrasi. Jadi, sah-sah saja orang berjanji apa saja, toh tak ada tuntutan hukum bagi orang yang mengobral janji dan tak menepati. Juga, yang terpenting, janji adalah satu-satunya modal kampanye yang tak memerlukan duit.
Undang-undang larangan mengritik kini diperluas dengan penambahan larangan menyindir, karena menyindir dianggap salah satu bentuk rongrongan yang bisa menjatuhkan wibawa pemimpin. Dan juga di dalam undang-undang itu tertera larangan berpendapat yang tak sejalan. Ini dianggap sebagai salah satu bentuk ekspresi kebencian yang dapat berpengaruh buruk pada rakyat lainnya.
Beberapa orang dipanggil oleh orang-orang terdekat Kabun untuk dimintai keterangan karena dianggap tak sejalan. Kabun juga memanggil langsung beberapa orang yang dianggap sebagai teman seperjuangan untuk dianugerahi jabatan atau penghargaan.
Sebagian masyarakat berkerumun, berbisik-bisik, mengeluhkan keadaan yang jauh dari janji-janji kampanye. Kesulitan-kesulitan hidup, harga-harga kebutuhan pokok yang terus meroket, sementara lapangan pekerjaan menyusut dan orang-orang kehilangan pekerjaan, merupakan riak-riak kecil dalam hati rakyat yang pada saatnya akan menjelma menjadi gelombang tsunami. Gagalnya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang dasar adalah induk dari pemberontakan itu sendiri.
Mereka baru sadar bahwa janji-janji yang terucap dulu hanyalah ilusi. Bagi Kabun kini yang terpenting bagaimana merangkul kawan yang seiya-sekata agar kekuasaannya terjaga. Antara lain dengan memberikan jabatan-jabatan strategis pada para kroni dan kerabatnya.
Sebagian masyarakat teringat orasi Kabun yang dulu pernah berucap “suara rakyat adalah suara Tuhan”, tapi kini masyarakat melihat “harta kekayaan adalah milik Tuan Kabun”, tuan yang memposisikan diri sebagai Tuhan, karena merasa kekuasaan berada dalam genggamannya. Apapun siap dilakukan, termasuk membunuh lawan-lawan politiknya.

Di malam hari, para pengemis duduk-duduk di alun-alun kota yang dulu pernah dipakai sebagai arena adu janji. Kini alun-alun terasa sepi. Para pengemis itu menengadahkan tangan dengan wajah menghiba menatap ke arah timur, seakan menunggu matahari terbit, atau mungkin juga menanti datangnya ratu adil, dengan harapan akan membawa sesuatu yang baru dan kisah ini pun berakhir.

_Janji-janji yang terlontar
di dunia politik, adalah
air pelepas dahaga
bagi orang yang haus._
(Hamid Nabhan)

Surabaya, November 2020

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id