Breaking News

Hidup Bukan Satu Warna, Bukan? Oleh: Prof. Dr. Suparto Wijoyo


Metroglobalnews.id. HAMID... yang lengkapnya Hamid Nabhan... itulah nama yang saya kenal sebagai penggalan abstraktif atas hidupnya yang bersenggama dengan alam. Nama itu mengisahkan jalinan hidupnya sendiri dengan ketercahayaan yang belum pernah menjadi karena Hamid adalah nama dari beragam gagasan. Beberapa jenak waktu saya mengenal lukisannya dalam sebuah kesengajaan bingkai kerajaan Tuhan dalam kesemestaan di kota yang terbilang Pahlawan. Pameran dan tampilan karyanya disodorkan dan selalu disodokkan kepada saya dalam hitungan penggugahan yang bermartabat. Simak dan lihatlah dengan ketajaman sang cahaya, maka raut Hamid mengembang dan mengebakkan sayap seolah dirinya burung yang gemilang menyibak angkasa dengan atmosfir terukurnya. Ini kali saya bersorak atas karyanya meski dengan kejumudan yang naudzubillah.

Lukisan Hamid bukanlah sekedar karya seni untuk menjustifikasi agar pembuatnya disebut Seniman. Bukan. Bagi saya lukisan Hamid adalah petikan ekologis yang jauh tersembunyi di lorong sejarah alam. Tuhan menganugerahi Hamid dengan kekuatan sublimatif-kontemplatif yang paling realistis untuk merefleksikan fenomena Tuhan dalam kreasi kemanusiaan. Tatap... tatap... dan tatap lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam tema subyektifnya _Color of My Soul._ Menerima pesan dan membaca tema pamerannya saya seketika _ngakak_ dalam buaian pendulum kehidupan. Hamid sedang menggauli dunianya secara subyektif dengan mempersonifikasi kesan kategoris seolah-olah apa yang disekitar adalah pantulan jiwanya. Tidak, saya memahami mengapa judul alturistik _Color of My Soul_ diambil sesungguhnya untuk meneguhkan kerinduan terhadap semarak lingkungan yang sudah _mbalungsumsum_ dalam keperihan batinnya. Hamid mereflelsikan dan memuncratkannya pada bejana peradaban manusia untuk selalu ingat _eling lan waspodo_ terhadap dimensi sumber daya lingkungan yang mengitarinya.

Kecerdasan lingkungan Hamid-lah yang membahanakan kekuatan obyek alamiah yang sangat naturalis dengan segala dimensinya menjadi kepatutan untuk direnungkan dalam pengambilan langkah kehidupan ke depan. Kita semua pasti menyadari bahwa hidup tidaklah satu warna dan tidak cukup hanya berpikir linier dengan logika sektoral berkemampuan maton (scientific-mind) tanpa boncengan seni-ekologis. Hinggar binggar pemilu sudah cukup memberi pelajaran dengan beragam gaya penanda life style dan mindset hung. Secara teoritik mereka sedang meng kualifikasikan diri memiliki kapasitas kecerdasan intelektual yang paripurna dengan derajat kecerdasan emosional dan kecerdasan religius yang mapan. Dalam spektrum yang demikianlah, kita kini disuguhi dengan hidangan berwarna yang disodorkan sosok Hamid yang sedang saya kuliti kecerdasan ekologisnya. Bukankah kita percaya bahwa ternyata kecerdasan emosional dan spiritual tidak cukup untuk mengubah Indonesia lebih baik. Maka para psikolog (lingkungan) sekelas Daniel Goleman menawarkan ukuran baru perilaku seseorang yang dinamakan eco logical intelligence. Lingkungan harus menjadi parameter sekaligus variabel penentu setiap perilaku seseorang. Orientasi ekologis adalah cermin pembulat kecerdasan emosional dan spiritual. Orang yang memiliki ecological intelligence akan memposisikan diri pada lingkungan secara ekosistemik yang terintegrasi dengan sikap hidupnya (ecologists).


Dalam skala ecological intelligence, maka pameran seni yang kita pilih tidak saja yang secara verbal dan narasi menyuarakan kepentingan lingkungan dengan klaim-klaimnya sebagai Environmentalists, tetapi juga dalam keseharian. Akhirnya Seniman dengan akhlak _"awut-awutannya"_ nyaris sempurna sebagai pemandu peradaban lingkungan. Simaklah lukisan-lukisan Hamid untuk menjadi tuntunan beristirah sejenak dalam kerangka pengembangan lingkungan mendatang. Menyimak lukisan Hamid sesungguhnya kita sedang menyibak pikiran pelukisnya yang dinamis sekaligus mistis. Jalan hutan dengan tegakan pohonnya yang bersambung dengan tebing bukit yang bersilaturahmi dengan lautan telah menorehkan jalan hidup yang teguh tetapi juga ada tempat berlabuh. Persawahan, perahu nelayan, ombak, angin, atau bunga, barisan flora yang berangsut langit biru dengan bingkisan mendung yang muram menggambarkan perseteruan yang calm, cool, dan confidance sekaligus amat sangat misterius.

Pameran ini pada titik paling simplistik adalah menggelorakan spirit agar manusia tidak menjadi asing bagi dirinya sendiri dalam belantara ekologisnya. Hidup bukanlah satu warna karena Tuhan tidak menguntai alam dalam satu vas bunga yang seragam. Lukisan Hamid mengejawantahkan pesan Tuhan mengenai jejaring lingkungan dan manusia hanyalah satu nokta pada bingkai semesta raya. Masihkah ada kesombongan dan kesembronoan manusia dalam hidup ini untuk tidak melestarikan lingkungan alam kita? Saatnya seriuskah untuk mengurus jagat raya sebagai rumah kita? Saksikan dengan _iqra'bismirabbik_ lukisan yang terang dalam kemisteriusan ekologis ini.
Salam.

*pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id