Breaking News

Estetika Kontras Hamid Nabhan Bagian I



 

Oleh: Prof. Jakob Sumardjo

Dalam bukunya Aku dan Impresionisme (2018), pelukis Hamid Nabhan menulis salah satu pengakuan atau kredo seninya sebagai berikut: “Saya menyukai suasana kemarau (karena) warna obyek lebih beragam…sangat kontras”. Dan sebagian besar lukisan pelukis ini, yang spesialis lukisan lanskap atau pemandangan alam, amat memikat dan mampu menggerakkan naluri kita untuk menguak lebih jauh misteri yang terpendam di dalam lukisan-lukisannya.

Semua karya seni, termasuk seni lukis, menarik perhatian kita, karena lukisan itu memiliki tenaga atau energi. Energi, menurut Leonardo Da Vinci, adalah hakikat spiritual. Spirit atau roh adalah energy yang tak nampak, tak terindera. Sebuah lukisan memiliki energi kalau lukisan itu begitu kita lihat langsung menyerap atau menarik (ditarik) perhatian kita, baik pikiran, perasaan, insting kita, bahkan juga tubuh kita, dan mendorong bangkitnya tenaga kratif kita sendiri sehingga bersama lukisan itu kita menjadi produktif.
Energi atau tenaga atau daya atau kekuatan punya potensi menggerakkan dan mengubah sesuatu. Gejala sesuatu itu “hidup” kalau ada “gerak” padanya. Ada nyanyian anak-anak Jawa yang berbunyi:
Mak jenthit lololobah
Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah

Sesuatu yang mati itu tidak bergerak. Orang yang dinyatakan mati menjadi kaku dan diam membisu. Tetapi kalau orang mati itu tiba-tiba bisa bergerak, maka bukan hanya anak-anak yang ketakutan, bahkan orang-orang dewasa akan geger.
Begitu juga lukisan-lukisan Hamid Nabhan ini benda mati. Tetapi karena hidup itu gerak energi maka kita dibikin geger juga. Lukisan-lukisan menjadi hidup karena adanya energi di dalamnya. Dimana tersimpan energinya? Energi seni itu ada di dalam benda seni itu, tetapi tak segera nampak di situ. Yang pertama terasa oleh publiknya adalah roh atau spiritualnya, yang secara spontan menggugah kita.
Energi lukisan itu harus dicari oleh setiap orang yang melihatnya. Orang Jawa sering bertanya begini:
dimana jejak bangau yang sedang melayang
dimana jejak itik yang berenang di air
dimana jejak semut yang merayap di batu?

Semua binatang yang bergerak itu tentunya meninggalkan jejak kaki mereka, tetapi dimana jejak mereka? Jejak itu tentunya ada di situ, tetapi nyatanya tak nampak di situ. Energi lukisan itu ada di lukisan itu, tetapi tak nampak di situ.
Saya akan mencoba menunjukkan dimana energi lukisan-lukisan pemandangan Hamid Nabhan dapat disimak.
Kredo atau pengakuan kesenimanan Hamid menyatakan bahwa ia tertarik pada obyek-obyek yang menampakkan keberagaman dalam kontras. Inti energi lukisam Hamid ada pada penataan kontras-kontras itu. Entah kontras bentuk, kontras warna, kontras ruang, kontras tekstur, kontras torehan kuas (brushstroke) dan lain-lain.

Pada dasarnya pelukis ini membagi ruang kanvasnya dalam kontras-kontras. Ia membagi kanvas atas dan kanvas bawah, tetapi juga kanvas kiri dan kanvas kanan. Pembagian kontras menjadi 4 ini dimainkan Hamid dengan isian bentuk, warna arah vertikal-horisontal dan banyak lagi. Ia mengisinya dalam kontras pohon hidup kontra pohon mati, subur dan gersang, gelap dan terang, isi dan kosong, langit dan bumi, kultur dan natur serta banyak jenis kotras yang lain.
Sesuatu disebut kontras apabila ada 2 keberadaan atau entitas yang saling berbalikan sifatnya, seperti gelap~terang, vertikal~horisontal, padat~kosong, dan banyak lagi. Kalau dua keberadaan yang saling bertentangan itu disatukan (dalam satu lukisan) maka akan terjadi konflik gelap~terang misalnya, sehingga terjadi dinamika atau gerak yang saling mengimbangi dalam kekontrasannya. Kalau dalam ilmu listrik dikenal adanya unsur positif dan negatif, yang kalau terpisah tak menimbulkan tenaga apapun, tetapi kalau disatupadukan akan terjadi konflik dalam energi listrik. Muncullah energi, gerak, dan hidup.
Saya akan menyimak estetika kontras Hamid Nabhan ini dari reproduksi lukisan-lukisannya dalam bukunya Aku dan Impresionisme. Masalah impresionisme tidak penting benar dalam telaah ini, karena semua lukisan, entah impresionisme, ekspresionisme, realisme, romantik, kubisme, abstrak, instalasi, bahkan mooi indie atau lukisan rakyat, asal mengandung daya energi di dalamnya, pantaslah kita sebut sebagai seni sejati.
Saya akan mulai dengan 8 lukisannya yang menggambarkan adanya road atau jalan. Lukisan pertama berjudul Petani Kapur di Madura. Di situ digambarkan seorang perempuan berbaju merah sedang berjalan membelakangi kita menuju kaki langit. Ia berada di tengah jalan tersebut. Baju merah segera menarik perhatian kita sebagai “pusat” atau “fokus” lukisan. Kanvas terbagi dalam kontras warna langit yang biru datar di bagian atas, sedangkan pasangan kontrasnya adalah bumi Madura yang terang gersang dengan berbagai benda, seperti jalan, pepohonan hijau yang cukup padat di sebelah kiri yang diimbangi dengan suasana di sebelah kanan jalan yang lebih kosong, dengan dominasi warna lebih terang. Kontras vertikal-horisontal ini dipadukan dengan kontras horisontal kiri padat yang gelap berimbang dengan horisontal kanan yang terang. Keempat pasangan kontras tadi difokuskan pada sosok perempuan berbaju merah yang menyunggi bakul berisi bongkahan kapur yang putih terang. Ia sedang berada di tengah jalan yang terang benderang melebihi segalanya, yakni jalan tanah berkapur. Pelukis Hamid amat terampil dalam ekspresi pilihan warna-warna yang dapat membedakan birunya air laut, jalan putih tanah dan jalan putih kapur.
Itulah energi lukisan Petani Kapur di Madura ini. Ia memukau kita karena permainan sifat-sifat kontras yang disajikannya. Setiap orang dapat menggali makna yang dikandung di dalamnya. Misal, perempuan petani kapur ini berbaju merah (suka cita) meskipun berat menyunggi keranjang berisi batu kapur, berjalan menuju kaki langit yang biru terang-sejuk sebagai simbol “keesaan” yang bersifat kerohanian. Anda juga dapat menarik makna lain yang berbeda.
Lukisan “jalan” yang kedua berjudul Petani di Madura. Kanvas juga terbagi antara 4 vertikal dan horisontal. Bagian atas adalah langit biru muda bersih yang berawan putih. Kontras bawahnya berupa bentangan horisontal berupa jalan kampung yang membelah bagian kiri penuh dengan pepohonan hijau gelap, dan sebelah kanannya tanah datar kosong yang sempit dengan warna hijau terang kecoklatan. Di gambar jalan itu berjalan seorang petani laki-laki berbaju putih kumal dan bercelana hitam sedang memikul dua keranjang berisi penuh hasil pertanian. Lelaki itu bertopi putih. Ia berjalan membelakangi kita, seperti dalam lukisan yang pertama tadi.
Dunia langit (atas) yang agak sempit kontras dengan dunia manusia dan bumi yang luas padat isi. Jadi ada kontras kosong (langit) yang sempit dengan bentangan alam dan jalan manusia yang hampir memenuhi bidang kanvas. Fokus lukisan ini ada di kanvas bawah yang dipenuhi gambar pohon-pohon rimbun berwarna hijau gelap, melambangkan kesuburan tanah. Petani itu sendiri sedang menuju kaki langit yang biru dan putih terang, mirip gambar lukisan pertama tadi. Petani itu menunjukkan sikap riang meskipun memikul beban berat hasil pertaniannya. Jadi lukisan ini hidup karena adanya energi konflik kontras-kontras yang dipilih dan digambarkan pelukisnya.
Lukisan ketiga berjudul Impresi Bangkalan-Madura. Lukisan ini spektakuler, karena didominasi oleh kontras langit bagian atas dan bumi bagian bawah. Kita diletakkan persis di tengah-tengah jalan luas yang membelah kontras bagian kiri yang dipenuhi tanah tebih coklat gelap yang dibelah oleh sungai kecil yang nampaknya deras. Bagian kiri ini menonjol bentuk-bentuk tebing yang vertikal. Hal ini kontras dengan bagian kanan kanvas yang digambarkan lebih datar dan horisontal.
Lukisan “Bangkalan” ini kosong dari kehadiran manusia, hanya ada benda budaya berupa pagar tembok jembatan yang rendah mengapit sisi kanan dan kiri jalan. Pusat energi lukisan ini ada di pusat lukisan berupa sebatang pohon hijau tua yang vertikal menjolok ke langit biru terang yang luas. Kalau gambar pohon itu tidak ada, maka lukisan itu akan kehilangan pusat energinya.
Hanya ada kontras tunggal dalam lukisan ini, yakni bentangan langit biru jernih keputihan yang tunggal-esa dengan bentangan bumi yang beraneka ragam bentuk dan warna. Kesan dunia bawah ini memang kerontang meski tersembul di sana sini pepohonan hijau tua. Ciptaan ini dimulai dari adanya Langit dan Bumi, sehingga lukisan ini bermuatan spiritual, yang di Bumi diwakili oleh julangan pohon tunggal agak di tengah kiri yang “menyembah” langit.
Dua lukisan “jalan” yang dibahas di muka diisi oleh kegiatan manusia. Adanya manusia di situ memaknai dua lukisan sebelumnya lebih antroposentris. Perhatian berfokus pada manusia di tengah bentangan langit dan bumi, antara kosong langit dan isi bumi. Sedang lukisan “Bangkalan” ini lebih kosmosentris mengarah pada keagungan ciptaan Tuhan yang murni.

Lukisan pemandangan alam Indonesia yang banyak dibikin oleh pelukis-pelukis asing di zaman kolonial abad 18, 19, dan 20, rata-rata berfokus pada kegiatan manusia di tengah bentangan alam yang molek di pulau Jawa dan Bali. Hampir seluruh kanvas penuh dengan gambar kemolekan alam Indonesia tetapi titik perhatian pada adanya kegiatan manusia entah berjalan atau berkereta atau pedati. Lukisan antroprosentris dengan pemandangan alam Indonesia semacam itu juga dikerjakan oleh Raden Saleh.
Lukisan-lukisan pemandangan alam tanpa kegiatan manusia banyak dilakukan oleh pelukis-pelukis Indonesia di zaman kolonial seperti terlihat pada lukisan Abdullah Suriobrongto, Pringadi, dan Wakidi. Setelah kemerdekaan lukisan kosmosentris semacam itu dikerjakan oleh Basuki Abdullah, Wahdi, Yudokusumo, dan lain-lain. Seniman Indonesia rata-rata melukis pemandangan alam secara kosmosentris yang lebih spiritual mengarah pada kesan keagungan ciptaan Tuhan.
Lukisan keempat Hamid adalah Jalan di Lembang, Bandung. Lukisan ini juga murni alam tanpa kehadiran manusia. Gambar jalan menempatkan kita ada di jalan tersebut seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Secara vetikal ada kontras langit biru bening di bagian atas kanvas, sedang gambar alam mendominasi lukisan dengan gerombolan kecil pohon hijau tua kehitaman yang berada di tengah gambar hamparan ilalang kering coklat kekuningan yang mencolok terangnya. Meskipun tanpa manusia, lukisan ini mengesankan antroposentris tidak mengarah pada kesan keagungan ciptaan. Jalan tanah kecil di situ terkesan sering dilalui manusia menuju ladangnya.
Empat lukisan pemandangan dengan jalan yang lain menempatkan jalan di luar fokus, artinya gambar jalan (tanah) ada di sisi kita bahkan kadang tercampur dengan bentangan tanah sekitar (jalan setapak). Memang ada juga lukisan berjudul Petani Kacang di Bangkalan-Madura, namun lukisan ini lebih menekankan kegiatan manusia (perempuan tua berkebaya merah dan berkain batik coklat) sedang membungkuk mencabuti batang kacang tanah di kebun yang tak begitu luas. Meskipun didominasi oleh lukisan pohon-pohon yang meliputi seluruh kanvas dengan langit biru di sela-sela pohon-pohon, lukisan ini lebih antroposentris, atau tepatnya lukisan manusia sedang berkebun.
Lukisan antroposentris dengan pemandangan semacam itu juga terdapat pada lukisan berjudul Pohon Jati dan Kambing. Lukisan didominasi oleh gambar pohon-pohon jati memenuhi seluruh kanvas dengan langit biru putih di sela-sela pohon-pohon itu.
Kini akan saya bahas jenis pemandangan alam yang kedua tanpa jalan dan tanpa kehadiran manusia. Lukisan pertama berjudul Kemarau di Betoyo-Lamongan yang dijadikan ilustrasi sampul buku Aku dan Impresionisme. Lukisan ini hanya berstruktur kontras tunggal, yakni bentangan langit biru jernih keputihan yang kosong, dengan bentangan tambak kering dengan sembulan ilalang kering yang kecoklatan dan kuning keemasan dalam torehan kuas miring. Fokus kontras bidang warna tunggal langit dan beragam bentuk dan warna bumi dihubungkan oleh deretan gambar-gambar pohon kering dan pohon berdaun kering juga yang saling bersandar bertemu di tengah-tengah parit irigasi yang diwarnai gelap. Tentunya parit irigasi yang membelah bentangan hamparan ilalang kering itu juga sudah tak dialiri air lagi, sehingga pohon-pohon di tengah bentangan tambak itu pada mengering menuju kematian. Cabang-cabang batang pohon kering dengan ranting-rantingnya itu mendominasi bentangan langit, seolah simbol kesiapan kembali ke langit yang tunggal warna itu.
Lukisan kedua alam murni yang berstruktur kontras tunggal langit-bumi ini juga ada pada lukisan Dua Pohon Kering di Betoyo, Lamongan. Struktur kanvas didominasi oleh bentangan langit biru jernih keputihan, sedangkan pasangannya Bumi berupa bentangan dataran kecoklatan tanah yang di tengahnya ada genangan semacam telaga kecil. Kontras langit biru dengan bentangan bumi kering coklat gelap disatukan oleh julangan dua pohon kering yang meranggas dengan batang pohon kokoh yang bercabang banyak dan tiap cabang mengembang ranting-ranting keringnya.
Lukisan ini bermuatan spiritual tentang kefanaan dunia ini. Simbol pasangan dua batang pohon yang mati itu dapat bermakna pasangan manusia atau semua pasangan hidup di dunia ini, baik hewan, tumbuhan, dan budaya.
Jenis lukisan alam murni berstruktur kontrs tunggal ini masih banyak, tetapi saya akan mengakhirinya dengan lukisan berjudul Tambak di Buduran, Sidoarjo. Lukisan ini lebih berspektif optimistik tentag hidup di bumi ini. Lukisan horisontal memanjang ini terbagi dua simetris antara langit jernih putih kebiruan dengan bumi di bagian bawah yang didominasi warna hijau gelap deretan pohon-pohon rindang sepanjang cakrawalanya. Hanya sedikit nampak deretan warna kuning-coklat yang ada di bawah naungan pohon-pohon subur tadi. Tanda-tanda alam yang subur ini dipertegas oleh bentangan air tambak yang memenuhi bidang bawah kanvas. Seluruh lukisan memberikan kesan rasa syukur atas kekayaan kesuburan bumi ini, baik di daratan maupun di lautannya. Ini salah satu dari banyak lukisan Hamid yang kebih mencari “suasana kemarau” pada alam yang disini justru kesuburan dan ketenangan hidup di bumi ini.
Catatan terakhir saya adalah mengenai kontras-kontras warna yang selalu muncul dalam lukisan-lukisan alamnya. Ada 3 jenis warna yang berulang-ulang dipakainya dengan sekian banyak variasinya. Warna langit selalu warna biru terang keputihan, warna-warna pohon cenderung hijau gelap atau warna-warna gelap yang lain. Sedangkan tanah kering senantiasa warna terang kuning kecoklatan.
Dalam warna batik klasik hanya ada 3 warna juga, yakni putih, coklat, dan biru tua atau hitam. Putih adalah simbol kosmos langit, coklat simbol dunia manusia, sedang warna gelap kebiruan adalah kosmos tanah atau bumi. Kalau kita bandingkan dengan pilihan warna Hamid, maka pohon-pohon cenderung diwarnai gelap kehijauan yang pada batik simbol bumi yang biru tua atau hitam. Dengan demikian warna-warna pohon yang gelap pada lukisan Hamid lebih bersimbol produk bumi (yang hidup atau yang mati). Sedang bentangan tanah dan jalan selalu memilih warna terang kuning, coklat kemerahan, yang pada batik warna coklat simbol dunia manusia. Sedangkan warna langit selalu digunakan warna biru keputihan yang pada batik berwarna putih polos simbol Dunia Atas atau langit yang putih bersih murni.
Dalam komparasi ini sedikit banyak Hamid Nabhan membawa estetika primordial Indonesia, khususnya batik Jawa klasik.

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id