Breaking News

Estetika Alam Hamid Nabhan Arif Bagus Prasetyo

 


Sebagian besar karya Hamid Nabhan menampilkan pemandangan alam, khususnya alam Indonesia. Seni lukisnya dapat dikategorikan sebagai seni lukis lanskap. Pada dasarnya. “lanskap” adalah konstruksi kultural. Pengertian “lanskap” mencakup fenomena alam maupun perubahan-perubahan yang ditimbulkan manusia pada dunia natural. Ditafsirkan secara longgar. “lanskap” meliputi laut, sawah, kebun, pepohonan, tambak, rumah, dan sebagainya. – obyek-obyek utama dalam banyak lukisan Hamid.

Seni lukis lanskap yang digeluti Hamid berakar pada praktik seni lukis Belanda abad 17, yang kemudian menduduki posisi utama dalam seni lukis Inggris. Seni lukis ini pada mulanya menjadi metode bagi seniman dan juru gambar topografis untuk mengeksplorasi wilayah-wilayah di tempat lain. Di Indonesia, zaman kolonial, seni lukis lanskap yang dikenal sebagai “Mooi Indie” pernah menjadi primadona dan sekaligus sasaran kecaman tokoh perintis seni rupa modern kita, S. Soedjojono.
Dalam sejarah seni rupa, sejak lama ada tradisi yang memandang seni sebagai tiruan pucat dari alam (mime-sis). Dalam tradisi tersebut, evolusi apresiasi estetik tentang alam berjalan seiring dengan obyektivikasi alam oleh ilmu pengetahuan maupun subyektivikasi alam oleh seni. Di Barat, para ahli estetika abad 18 memberikan ekspresi teoritis pada kaitan antara obyektivitas ilmiah dan subyektivitas estetik dalam memandang alam. Para pemikir Empiris, seperti Joseph Addison dan Francis Hutcheson, mengunggulkan “alam” di atas “seni”. Mereka memuliakan alam sebagai subyek ideal pengalaman estetik dan mengembangkan paham kebebaspamrihan (disinterestedness) sebagai ciri pengalaman tersebut.

Paham kebebaspamrihan digali sedemikian rupa demi mensterilkan pengalaman estetik dari pengaruh asosiasi dan konseptualisasi. Citra alam “dimurnikan” dari berbagai asosiasi, konseptalisasi, maupun pamrih personal, moral dan ekonomi. Hasilnya adalah sebentuk mode apresiasi estetik yang meninjau dunia natural dengan pendangan yang diandaikan netral, tak berbeda dari mata ilmu pengetahuan yang merentangkan jarak dan mengobjektifkan. Pada gilirannya kemudian, paham kebebaspamrihan meletakkan landasan bagi estetika kesubliman. Melalui kesubliman, berbagai manifestasi alam yang paling seram-mengancam pun dapat diberi jarak dan diapresiasi. Sentralitas teoritis alam di atas seni, paham kebebaspamrihan dan estetika kesubliman mendorong munculnya pandangan yang lebih radikal tentang alam. Sumber diskursifnya adalah tradisi tulisan bertema alam dari Amerika Utara, antara lain karangan Henry David Thoreau. Pada pertengahan abad 19, tradisi ini diperkuat oleh karya George Perkins Marsh yang mengumandangkan, manusia adalah penyebab utama hancurnya keindahan alam.

Tradisi ini mencapai perwujudan klasiknya pada penghujung abad 19 bersama John Muir, tokoh naturalis Amerika. Muir melihat seisi alam, teristimewanya alam bebas, sebagai indah secara estetis dan hanya menjadi buruk ketika ternoda oleh campur tangan manusia. Pandangan ini berpengaruh kuat pada gerakan pelestarian alam liar di Amerika Utara dan selanjutnya membentuk mode apresiasi estetik tentang alam yang berkaitan dengan paham kontemporer mengenai pelestarian lingkungan (enviromentalism). Salah satu ciri mode apresiasi estetik ini adalah mengharamkan tanda-tanda kehadiran manusia pada lanskap alami.

Namun demikian, sejak abad 18 pula, paham kebebaspamrihan bukan saja memunculkan estetika kesubliman, tetapi juga estetika kerupawanan (the picturesque). Istilah “rupawan” berarti “elok rupa” (picture-like), mengindikasikan suatu mode apresiasi estetik yang memecah dunia natural ke dalam adegan-adegan artistic. Estetika kesubliman menelanjangi dan mengobjektifkan alam; sebaliknya estetika kerupawanan merias alam dengan seperangkat citra subyektif dan romantik. Estetika kerupawanan berakar pada teori para ahli estetika abad 18 yang berpikir “karya alam” (ciptaan Tuhan) lebih indah manakala menyerupai karya seni (ciptaan manusia). Karena itu, berlawanan dengan estetika yang dijiwai ide kesubliman, estetika yang disinari gagasan kerupawanan merayakan tanda-tanda kehadiran manusia pada alam.
Karya-karya Hamid cenderung berpijak pada estetika kerupawanan daripada estetika kesubliman. Hamid tidak menolak kehadiran manusia pada lanskap alami. Sejumlah lukisan pmandangan alamnya menampilkan figur manusia. Jejak kehadiran manusia juga sering divisualkan melalui citra berbagai artefak bikinan manusia, misalnya bangunan dan perahu, di tengah lanskap. Kebanyakan bentang alam yang dilukis Hamid adalah alam hasil kontruksi manusia. Hamid suka melukis ranah yang telah diintervensi manusia, dibudayakan dan dibudidayakan oleh sentuhan manusia, seperti sawah, ladang, kebun, dan tambak.
Lukisan-lukisan Hamid menampilkan alam sebagai “lahan”, sepetak ruang hidup bagi spesies manusia. Dalam berhadapan dengan alam, sang pelukis mengambil posisi humanis-antroposentris yang menekankan keunggulan manusia beserta budayanya. Lanskap Hamid lebih berwatak “kultural” ketimbang ”natural”. Sikap sang pelukis terhadap alam cenderung realistis ketimbang idealis; alam tak mungkin lolos dari campur tangan eksploitatif manusia, tetapi manusia sebagai makhluk unggul berakal budi seyogyanya mengeksploitasi alam secara rsional, bertanggung jawab, dan bermartabat. Secara terselubung, karya-karya Hamid membawa pesan ekologis yang menolak eksploitasi alam secara destruktif.

Catatan kecil kiranya patut diketengahkan untuk menanggapi pilihan Hamid terhadap seni lukis lanskap pada era kontemporer. Meski terkesan romantik atau klise, citra alam yang ditampilkan Hamid adalah bagian dari realitas historis Indonesia. Sejak dulu sampai sekarang. Citra tersebut bukan sekedar tema lukisan, melainkan bagian integral dari kenyataan hidup sehari-hari rakyat Indonesia, sebuah aspek dari keindonesiaan kita. Representasi alam agraris pada karya-karya Hamid seolah mengingatkan kembali, realitas Indonesia kini bukan melulu identik dengan dinamika kehidupan urban yang banyak dijelajahi para perupa kontemporer kita.
Di tengah kecamuk dunia global dewasa ini, seni lukis lanskap Hamid Nabhan menghadirkan seraut wajah realitas keindonesiaan yang sesungguhnya tetap aktual, tetapi mungkin telah kita abaikan atau malah kita lupakan.

*) Kurator

© Copyright 2022 - metroglobalnews.id