Oleh: Hamid Nabhan
Di sebuah negeri jauh yang terletak di tengah-tengah samudra biru, hiduplah seorang tua berpostur gemuk agak sedikit lucu. Ia gemar menari. Hampir tiap hari ia selalu menari, baik itu dalam keadaan santai atau pun situasi serius, ia tetap bergoyang riang. Orang-orang sekitar menjulukinya “opa yang pandai menari”. Sebagian lagi memanggil dengan lebih singkat, yaitu Opa Penari.
Jika Opa Penari melintas di jalan, selalu ada anak-anak yang riang gembira mengikuti di belakangnya. Ke mana pun Opa Penari berjalan, walau jalannya terseok-seok ia tetap bersemangat. Opa Penari menyadari menari bisa jadi sebuah perkerjaan yang menarik. Menari adalah seni gerak yang bisa mengungkapkan banyak hal.
“Opa Penari!”
“Opa Penari!” teriak anak-anak dengan riang penuh tawa ketika melihat Opa Penari datang.
“Ayo, Opa kita menari!” sorak anak-anak dengan bersemangat.
Opa Penari pun seperti orang yang lupa usia, bak seorang remaja, ia menggerakkan tangannya, menggoyangkan badannya dengan energik. Ada musik pengiring atau tanpa musik, ia asyik menari. Oh, sampai tanpa sadar bajunya terangkat dan terlihat perutnya yang agak buncit. Anak-anak tanpa dikomando mengikuti gerak meliuk-liuk Opa Penari.
Para orang tua melihat saja kejadian itu dari kejauhan. Ada yg tersenyum geli, menikmatinya sebagai pertunjukan spontanitas. Sebagian dari mereka juga mencibir tak suka. Ada pula yang merasa iba melihat Opa Penari yang seakan tak pernah lelah bergerak, berpindah tempat dengan berjalan kaki, dan selalu diikuti anak-anak.
Daya tarik Opa Penari ibarat sihir yang menghipnotis anak-anak untuk mengikutinya. Opa Penari pun juga menyukai anak-anak, ia sering membawa permen dan membagikannya ketika anak-anak berkerumun di belakangnya. Permen-permen itu dilempar ke atas, lalu anak akan berebut menangkap sampai memunguti yang jatuh ke tanah. Kelucuan gerak tubuh dan manisnya permen adalah alasan anak-anak selalu teringat dan menanti Opa Penari.
Sekali waktu, Opa Penari duduk beristirahat ketika lelah menari. Anak-anak itu ikut duduk melingkar. Opa Penari pun memulai sebuah cerita, mengenai pengalamannya di masa yang lalu, yang dipenuhi dengan bumbu-bumbu kisah heroik. Anak-anak pun khusyuk mendengar. Mereka berdecak kagum melihat Opa Penari yang berapi-api berkisah sampai suaranya parau karena mulutnya kering.
Seorang anak ingin bertanya, tapi takut memotong ceritanya. Anak-anak ini tahu watak Opa Penari yang mudah marah jika tak suka. Pertanyaan akan menghentikan cerita, kemudian membuat Opa Penari memikirkan jawabannya. Ketika keseruan bercerita terusik, ia memlih bergerak dan menari lagi. Ia menutupi amarahnya dengan menari dan anak-anak pun tetap terhibur.
Kisah unik ini terdengar media lokal yang kemudian mencari Opa Penari untuk membuat liputan. Dengan senang hati dan semangat berapi-api, Opa Penari berkata-kata seperti seorang filsuf.
“Fungsi dan tugas kakiku ini untuk berjalan. Tapi sesungguhnya kegemaran kakiku ini menari. Ini adalah kaki yang mulia, dulu ketika saya muda kakiku ini berjasa bagi negeri, ia turut andil berjuang bagi bangsa. Sekarang rasanya saya tak membutuhkan ekspresi yang lain untuk mengungkapkan isi hatiku dan isi dari kepalaku. Dengan menari inilah aku bisa mengungkapkan semuanya. Bagiku menari bukan hanya menggoyang tubuh, tapi tarian bagiku adalah sebuah bahasa yang melampaui bahasa itu sendiri, karena gerak tubuh adalah dasar dari semua komunikasi yang pernah ada.”
Suaranya semakin meninggi dan sambil menggenggam tangannya, “Ya, itu adalah alasanku untuk melakukan semua ini.”
Awak media yang mewancarai opa penari tertegun takjub dengan apa-apa yang baru mereka dengar. Opa penari pun mulai menjadi buah bibir di masyarakat luas. Ia mulai dicari untuk diundang di acara besar. Di jalan-jalan terpampang poster dan baliho bergambar Opa Penari dengan anak-anak mengerumuninya, seperti sedang kampanye mencari suara untuk sebuah pencalonan presiden dan legislatif.
Beberapa media menjulukinya sebagai "Penari Jenaka". Tapi rupanya julukan ini kurang berkenan di hati, Opa Penari mulai marah-marah dan awak media pun menjadi sasaran ancaman. “Hai para media, berhati-hatilah bila menulis tentang saya. Tolong jangan sembarangan!” teriaknya. Begitulah Opa Penari merasa jumawa dan sering menyindir orang-orang yang tak disukai dengan makian. Semakin hari Opa Penari semakin emosional, sering berteriak dan membentak. Masyarakat mulai cemas dan merasa tak nyaman, walau anak-anak masih mengelu-elukannya.
Suatu sore datanglah sebuah mobil dinas Satpol PP berhenti di tempat Opa Penari berorasi sambil menari. Opa Penari tak menyadari kedatangan petugas sampai mereka memegang kedua tangannya dan hendak membawanya ke mobil. Opa Penari mulai marah dan meronta sekuat tenaga disaksikan anak-anak yang berkerumun.
Petugas meyakinkan Opa Penari bahwa tujuan mereka adalah mengajaknya untuk menghibur para pasien-pasien di rumah sakit. Para petugas mengiming-iming dengan imbalan honor yang cukup tinggi. Opa Penari nampak bergeming dan mulai tertarik dengan tawaran itu. Ia menurut saja digandeng masuk mobil. Anak-anak bersedih Opa Penari pergi.
Hari berlalu dengan cepat orang-orang kembali merasa tenang, tapi tidak bagi anak-anak. Mereka masih menunggu idolanya. Namun yang ditunggu tak pernah datang. Rupanya Opa Penari dibawa ke rumah sakit jiwa, petugas datang karena adanya laporan dari masyarakat yang terganggu keramaian dan ancaman oleh Opa Penari.
Beberapa waktu berselang, di dinding bangunan tua seberang stasiun kota ada tulisan besar dengan cat pilox. Tulisan yang entah kapan dibuatnya ini menarik perhatian orang-orang yang lewat untuk membacanya.
"Goyang terus Opa! Menari tak perlu biaya, tapi bisa buat dunia tersenyum.”
“Jangan berhenti bergoyang, Opa! Dan teruslah riang berputar-putar, karena dunia dan problemnya juga berputar".
Ini seperti sebuah harapan yang lahir dari sebuah kerinduan. Kerinduan akan hiburan untuk menghilangkan bosan akan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin sulit dicapai.
Surabaya 4 Januari 2024
Ilustrasi: Dancing Man karya Jimmie Lee Sudduth
Social Header